Kerusuhan hingga Tuntutan Referendum di Papua

Sorta Tobing
30 Agustus 2019, 16:50
kerusuhan di jayapura, referendum papua, kejadian rasisme papua
ANTARA FOTO/Indrayadi TH
Seorang warga berada di puing bangunan yang terbakar di Jayapura, Papua, Jumat (30/8/2019). Sejumlah bangunan dan kendaraan terbakar saat aksi massa berbuntut rusuh terjadi sehari sebelumnya.

Bendera Bintang Kejora berkibar di seberang Istana Negara, Jakarta, pada Rabu lalu (28/8). Para pemuda Papua berunjuk rasa menuntut referendum untuk tanah kelahirannya.

Dari pantauan CNNIndonesia.com, tidak ada tindakan tegas dari aparat keamanan. Ini pertama kalinya bendera bergaris putih-biru dan bergambar bintang itu terlihat terang-terangan tepat di jantung pemerintahan.

Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian sehari setelah kejadian mengatakan akan mengusut pengibar bendera tersebut. Begitu pula dengan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto.

Ia menegaskan Indonesia hanya memiliki satu bendera yaitu Bendera Merah-Putih. "Jadi kalau ada yang mengibarkan bendera (Binta Kejora) itu apalagi di depan Istana dan sebagainya, pasti ada hukumnya ada undang-undang yang mengaturnya," kata Wiranto di Kompleks Parlemen, Jakarta, kemarin.

(Baca: LSM Unjuk Rasa di Depan Kominfo Minta Akses Internet Papua Dibuka)

Soal referendum, ia menyatakan tuntutan itu tidak pada tempatnya. "Karena NKRI sudah final, harga mati, termasuk Papua dan Papua Barat," ujarnya.

Referendum bukan hal baru bagi Papua. Sejak meraih kemerdekaan dari Belanda dan bergabung dengan Indonesia, tuntutan itu kerap disuarakan masyarakat di sana.

Masuknya Papua ke NKRI  pun melalui referendum. Namun, sampai sekarang belum jelas betul apakah pemungutan suara untuk menentukan pilihan menjadi milik Belanda atau Indonesia itu adil atau tidak.

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) begitu istilah referendum yang diadakan pada 14 Juli 1969 di Irian Jaya (nama Papua sebelumnya) tersebut. Hanya sekitar seribu orang saja yang ikut dalam pemilihan itu dan mayoritas memilih bergabung dengan Tanah Air.

Orde Baru kerap disebut memakai segala cara untuk mengamankan suara. Pasalnya, di saat yang sama raksasa tambang asal Amerika Serikat, Freeport, akan menanamkan investasinya di sana.

(Baca: Jayapura Rusuh, Jokowi Bakal Evaluasi Kebijakan Keamanan di Papua)

Presiden Soeharto menunjuk Letjen Ali Moertopo untuk melancarkan rencananya. Berbagai bantuan, hingga ancaman, diberikan kepada masyarakat Papua sebelum Pepera berlangsung. Bahkan seribu orang yang ikut pemilihan itu kabarnya merupakan penerima bantuan rutin dari pemerintah.

Freeport kemudian memang beroperasi di sana. Tembaga dan emas selama bertahun-tahun mereka dapatkan dari Bumi Cendrawasih. Perusahaan itu semakin kaya, tapi masyarakat Papua terus berjuang dengan masalah kemiskinan.

Seperti terlihat dari grafik Databoks berikut ini, lebih dari seperempat penduduknya miskin. Persentase penduduk miskin di 17 kabupaten/kota Provinsi Papua pada 2018 berada di atas angka kemiskinan provinsi yang sebesar 27,43%. Bahkan, sebanyak tiga kabupaten, yakni Deiya, Intan Jaya, dan Lanny Jaya tingkat kemiskinannya di atas 40% dari populasi.

Pertumbuhan ekonominya pada kuartal II-2019 mengalami kontraksi sebesar 23,98%. Angka ini jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,05%. Pertumbuhan ekonomi Papua pada triwulan II 2019 merupakan yang paling rendah di antara 34 provinsi di Indonesia.

Provinsi Papua Barat juga mencatat pertumbuhan negatif sebesar 0,5% pada kuartal II 2019. Namun, angka pertumbuhan ini lebih baik dibandingkan kuartal sebelumnya yang -12,83%.

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...