Banjir di Kalimantan Jadi Muara dari Semrawutnya Tata Guna Lahan
Banjir besar di Kalimantan Selatan pada awal tahun ini menyebabkan 24.379 rumah terendam, 39.549 warga mengungsi, dan 21 orang meninggal dunia. Presiden Joko Widodo mengatakan tingginya curah hujan yang terjadi selama sepuluh hari berturut-turut menjadi pemicunya.
Sungai Barito yang memiliki daya tampung 230 juta meter kubik tak mampu menahan derasnya luapan air. “Sekarang ini masuk air sebesar 2,1 miliar kubik air,” kata Jokowi dalam kunjungannya pada pekan lalu.
Namun, Jaringan Advokasi Tambang alias Jatam berpendapat berbeda. Masalah tata guna lahan, terutama di bagian hulu dan kawasan hutan Kalsel yang amburadul menjadi penyebab utama banjir. “Lahan itu dialihfungsikan untuk tambang yang menyebabkan daya serap air berkurang drastis,” kata Kepala Kampanye Jatam Melky Nahar kepada Katadata.co.id, Senin (25/1).
Temuan jaringan organisasi non-pemerintah itu menemukan sejumlah daerah aliran sungai atau DAS Sungai Barito telah dibebani izin dan aktivitas tambang, terutama batu bara. Para perusahaan sebenarnya memiliki kewajiban melakukan reklamasi lahan bekas tambang, tapi realisasinya jauh dari harapan.
Misalnya, dari total 814 lumbang tambang di provinsi itu, menurut data pemerintah daerah setempat, baru 6 ribu hektare yang direklamasi. Jumlah itu pun lebih sedikit dari luasan tambang di sana yang pada 2016 mencapai 1,2 juta hektare. “Pemda dan pemerintha pusat bahkan tak berani membuka data soal perusahaan apa saja yang tidak melakukan reklamasi,” uarnya.
Dugaannya, ketidakterbukaan data bisa jadi karena pihak perusahaan tidak menyetor dana jaminan reklamasi. Atau malah dana itu disalahgunakan oleh oknum tertentu.
Selain itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menjadi salah satu simpul birokrasi biang kehancuran lingkungan. Sejumlah kewenangan strategisnya, menurut Melky, mengobral izin tambang.
Kondisinya bertambah parah dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang mineral dan batu bara (minerba) dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja. “Kementerian ESDM sungguh sangat bermasalah dan menjadi ancaman besar bagi keselamatan rakyat serta lingkungan,” katanya.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno berpendapat Kalimantan memang memiliki curah hujan yang tinggi. Hal inilah yang membuat pulau tersebut memiliki potensi besar batu abra.
Pembentukan barang tambang itu biasanya di endapan danau, dataran rendah. “Umumnya bagian dasar adalah tanah lempung, penyerapan airnya rendah,” kata Djoko.
Di sinilah hutan purba yang pohonnya tumbang membentuk endapan tak membusuk. Endapan ini kemudian tertimbun lumpur dan lempung, lalu membentuk batu bara.
Wilayah tambang yang permukaannya tinggi, menurut dia, biasanya tidak kebanjiran. Perusahaan batu bara biasanya sudah membuat penampungan.
Untuk perusahaan besar yang diawasai Kementerian ESDM telah melakukan reklamasi. Capaiannya mencapai 7 ribu hektare tahun lalu. “Jadi, penyebab banjir (Kalsel) adalah curah hujan yang tinggi dan pengelolaan tata air yang tidak baik,” ujarnya.
Bencana Terus Terjadi, Kebijakan Satu Peta Dipertanyakan
Tercatat ada 168 kejadian bencana hidrometeorologi, berupa banjir dan tanah longsor, sejak awal 2021. Lokasinya berada di Sumedang, Bojonegoro, Tuban, Manado, Aceh Tamiang, Gayo. Yang terbesar di Kalimantan Selatan dengan luasan terdampak mencapai 11 kabupaten dan kota. Aktivitas warga pun menjadi lumpuh.
Hingga 21 Januari 2021, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan akibat dari bencana banjir dan longsor tersebut 483.324 jiwa terdampak bencana. Total kerusakannya mencapai Rp 1,127 Triliun.
Banyak pendapat menyebut bencana hidrometeorologis ini terjadi karena kegiatan ekstraktif manusia. Dampaknya, kemampuan daya dukung dan tampung lingkungan berkurang.
Hngga hari ini apa yang digaungkan pemerintah terkait corrective action terutama upaya melindungi dan mencegah kerusakan tersebut masih hanya sekedar lip service. Manajer Tata Ruang Dan GIS Walhi Nasional Ach Rozani dalam keterangan tertulisnya mengatakan pemerintah perlu memahami bencana yang terus berulang tak dapat dilepaskan dari produk politik, ekologi, dan sosial.
Instrumen kebijakan dan aturan yang terus digaung masih pro-investasi dan mengorbankan aspek sosial-ekologi. "Bahkan ini diperparah lagi ada motif komodifikasi terhadap bencana yang selama ini terjadi," kata dia.
Kebijakan satu peta atau one map policy dapat menjadi rujukan dalam pengelolaan ruang berwawasan lingkungan. Kepala Divisi Advokasi Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP) Imam Hanafi mengatakan ketiadaan peta partisipatif yang dibuat oleh masyarakat lokal atau adata menjadi pintu masuk timbulnya bencana ekologi dan sosial.
Peran masyarakat menjadi lemah dalam hal mengontrol ruang dan lingkungan sekitarnya. "Khususnya jika berhadapan dengan klaim negara atau perijinan," ujar Imam.
Karena itu, penting bagi pemerintah untuk segera melakukan revisi peraturan presiden (Perpres) kebijakan satu peta. Aturan berikutnya harus dapat mengakomodir data spasial masyarakat yang tertuang dalam peta partisipatif serta mengintegrasikan dalam kebijakan satu peta.
Dalam keterangan tertulisnya, Imam mendesak pemerintah melakukan enam hal. Pertama, merevisi Perpres Nomor 9 Tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan kebijakan satu peta. Substansi dan targetnya harus mampu menerima produk geospasial yang dibuat oleh rakyat.
Kedua, peta partisipatif harus menjadi dasar dalam melakukan proses verifikasi dalam tahapan sinkronisasi dan penyelesaian tumpang tindih IGT yang dibuat oleh wali data (kementerian dan lembaga) terhadap wilayah kelola masyarakat (adat/lokal).
Ketiga, data dan Informasi atas status peta hak guna usaha (HGU), hak pengelolaan lahan (HPL), hak guna bangunan (HGB), peta izin pemanfaatan kawasan hutan, peta izin usaha pertambangan harus terbuka sebagai pengawasan dan kontrol publik.
Keempat, perlunya adanya wali data atas wilayah adat untuk melengkapi dan menegaskan keberadaan hutan adat dan hak komunal (tanah ulayat).
Kelima, kompilasi, integrasi dan sinkronisasikan peta masyarakat (masyarakat adat dan lokal) ke dalam kebijakan satu peta sebagai salah satu data rujukan dalam melakukan proses verifikasi status dan fungsi ruang lintas kementerian.
Terakhir, dalam rangka mewujudkan partisipasi masyarakat terhadap kebijakan satu peta, diperlukan kejelasan mekanisme adopsi, verifikasi, registrasi dan penetapan serta standarisasi oleh walidata (NSPK).