Kemarau panjang dan kekeringan menyelimuti Indonesia tahun ini.  Lebih dari separuh wilayah di Indonesia mengalami kekeringan, hingga berdampak pada hasil pertaniannya. Kondisi ini pasti berpengaruh pada pasokan bahan pangan di dalam negeri.

Periode Juni hingga September lalu merupakan puncak kemarau 2018. Bahkan, beberapa wilayah membuat hujan tak turun lebih dari 100 hari. Akibatnya kekeringan melanda sejumlah wilayah. Prediksinya, hujan baru akan turun di sejumlah wilayah mulai bulan ini. Lampung, Jawa, Bali dan Nusa Tenggara merupakan wilayah paling parah mengalami kekeringan. Kemarau pada tahun ini diprediksi lebih panjang 20 sampai 30 hari jika dibandingkan periode 2015-2017 lalu.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan kemarau panjang tahun ini bisa mengancam kedaulatan pangan. Saat ini banyak wilayah pertanian di Pulau Jawa sudah mengalami puso atau gagal panen. Padahal, Jawa merupakan sentra pangan yang menyumbang sekitar 60% dari total luas lahan pertanian Indonesia. “Kekeringan itu akan mengakibatkan produksi pangan 1 ton, kini menjadi setengahnya,” ujarnya, di Jakarta, Rabu (10/10).   

Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) mencatat saat ini bencana kekeringan telah melanda 11 provinsi, 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa. Sebagian besar merupakan sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya. Berdasarkan data InaRisk dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), risiko kekeringan di Indonesia mencapai 11,77 juta hektare tiap tahun. Bencana kekeringan berpotensi menimpa 28 provinsi yang ada di Nusantara. 

(Baca: Kekeringan dan Penurunan Produksi Kerek Harga Jual Gabah)

Akademisi dari Fakultas Pertanian UGM Andi Syahid Muttaqin mengatakan musim kemarau tahun ini sangat unik. Bagian utara Khatulistiwa tak mengalami musim kemarau berkepanjangan. Bahkan saat ini sudah memasuki musim hujan. Namun, daerah selatan Indonesia justru mengalami musim kemarau dengan tingkat yang parah dan lama.

Kemarau yang berkepanjangan ini tak terlepas dari pengaruh fenomena alam Monsun India. "Indeks Monsun India itu tahun ini lebih kuat. Normalnya 10 m/s, tahun ini mencapai 15 m/s, bahkan ada yang sampai 17 m/s," kata pakar agroklimatologi ini.

Dia memperkirakan musim kemarau panjang akibat Munson India ini bisa berakhir pada 10 hari pertama November. Masalahnya, pada saat yang sama sudah muncul siklus panas El Nino yang akan mengurangi intensitas curah hujan. El Nino akan terjadi sepanjang November 2018 hingga Maret 2019. Periode ini merupakan masa tanam hingga panen raya pertama untuk padi. 

Tingkat Ketersediaan Air Bagi Tanaman
Tingkat Ketersediaan Air Bagi Tanaman (BMKG)

Meski dilanda kekeringan, Kementerian Pertanian (Kementan) masih optimistis produksi pangan tahun ini akan maksimal. Data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan mencatat lahan pertanian, khususnya sawah, yang dilanda kekeringan masih relatif kecil.

(Baca : BPS: Harga Semua Jenis Beras Naik pada September 2018)

Jika dibandingkan dengan luas tanam tahun 2018 periode Januari-Agustus seluas 10.079.475 hektare, yang terdampak kekeringan hanya 1,34% atau 135.226 hektare. "Itu sudah termasuk yang terkena puso atau gagal panen yang hanya 0,26% atau 26.438 hektare dari total luas tanam," ujar Direktur Jenderal Tanaman Pangan Kementan, Sumarjo Gatot Irianto.

Di Provinsi Jawa Barat, sebagian daerah pertaniannya mengalami gagal panen akibat kekeringan. Sejak awal kemarau April lalu, hingga kini total lahan puso di Jawa Barat mencapai 6.449 hektare. Adapun yang mengalami kerusakan ringan 11.425 hektare, rusak sedang 4.852 hektare, dan rusak berat 3.254 hektare. "Jadi total lahan yang terdampak kekeringan, termasuk yang puso mencapai 25.862 hektare," ujarnya Kepala Dinas Pertanian Jabar Hendi Jatnika.

Meski begitu, target produksi padi Jawa Barat tahun ini masih bisa dibilang aman, karena total lahan puso hanya 2% dari total luas lahan siap panen yang mencapai 240.000 hektare lebih. Mulai September hingga awal Oktober masih ada petani yang berhasil memanen hasil sawahnya.

Menurut Gatot,  faktor utama penyebab kekeringan adalah berkurangnya curah hujan. Berdasarkan data BMKG, ada penurunan curah hujan yang signifikan pada Juni-agustus 2018 dibandingkan tahun lalu yang lebih fluktuatif. Penurunan terbesar pada bulan Agustus 2018 sebesar 32.21 milimeter (mm) per hari sedangkan pada Agustus 2017 sebesar 138.47 mm per hari.

Pemerintah juga telah mengantisipasi dampak kekeringan dan puso ini, karena kemarau adalah fenomena iklim yang berulang tiap tahunnya. Gatot yakin potensi lahan yang terkena kekeringan seluas 135.226 hektare masih bisa berkurang, selama di sekitar lokasi masih memiliki sedikit air. Berbagai upaya dilakukan menghadapi kekeringan dan menghindari penurunan hasil produksi petani, dengan menjaga kecukupan ketersediaan air.

(Baca: Menjaga Ketahanan Pangan di Tahun Politik)

Untuk jangka pendek Kementan membuat sumur pantek dan pompanisasi air sungai di wilayah potensial. Selain itu, penyediaan benih unggul tahan kekeringan, pengaturan pola tanam, minimalisir risiko kekeringan, penyediaan asuransi usaha tani dan menggenjot pertanaman di lahan rawa, lebak dan pasang surut.

Kemudian program perbaikan irigasi, bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), pembangunan embung, pengembangan tata air mikro di lahan rawa dan pasang-surut, dan bantuan benih tahan kekeringan. Puluhan infrastruktur besar berupa bendungan juga tengah dibangun di berbagai daerah.

Kekeringan
Kekeringan (ANTARA FOTO/Seno)

Menteri Pertanian Amran Sulaiman sudah memerintahkan seluruh jajarannya harus turun tangan meyakinkan petani. "Kami wajib membantu petani mencari sumber air, mempertahankan pertanaman, dan bisa tetap panen,” kata Kepala Biro Humas dan Informasi Publik Kementan Kuntoro Andri Boga. Kementerian Pertanian telah menurunkan tim khusus ke lokasi-lokasi kekeringan di wilayah sentra produksi padi.

Asumsi bencana kekeringan yang panjang tahun ini tidak terlalu mengganggu hasil pertanian menjadi salah satu keyakinan produksi pangan bisa mencukupi kebutuhan dalam negeri. Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Hendriadi memastikan pemerintah pusat tidak akan mengimpor bahan pangan. “Pemerintah tidak akan impor bahan pangan,” ujar Agung di sela acara panen raya jagung di Desa Kakatpenjalin, Kecamatan Ngimbang, Lamongan, seperti dikutip kompas.com, Kamis (11/10).

Untuk wilayah Lamongan produksi hasil pertaniannya mengalami peningkatan di tengah kemarau tahun ini. Produksi padi Lamongan tahun lalu sebesar 1,87 juta ton gabah kering giling (GKG), jagung sebesar 571 ribu ton, dan kedelai mencapai 22 ribu ton. Sementara sampai dengan Oktober ini, produksi padinya sudah mencapai 950 ribu ton, jagung 454 ribu ton dan kedelai sebesar 18 ribu ton. 

(Baca : Menko Darmin Paparkan Kronologi Heboh Impor Beras Bulog vs Mendag)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami