Pemerintah akan mengandalkan harta-harta orang Indonesia yang selama ini belum tersentuh pajak, untuk mengejar target penerimaan pajak tahun depan. Data keuangan yang didapat dari hasil kerja sama pertukaran data keuangan otomatis antar negara (AEoI) akan menjadi dasar pemerintah mengejar pajak dari harta dan penghasilan orang Indonesia yang disembunyikan di luar negeri.

Target penerimaan perpajakan (pajak dan bea cukai) tahun depan memang tergolong tinggi, yakni sebesar Rp 1.786,4 triliun. Target ini naik 15,36% dibandingkan proyeksi realisasi tahun ini sebesar Rp 1.548,4 triliun. Mayoritas target tersebut bakal berasal dari pajak. Maka itu, diperlukan usaha lebih untuk bisa mencapai target.

Saat pembahasan anggaran 2019 dengan parlemen, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan dengan asumsi pertumbuhan ekonomi di kisaran 5%, inflasi 3,5%. Jika pergerakannya mengacu asumsi ekonomi ini pertumbuhan pajak hanya akan naik 8,5%. Dengan target penerimaan pajak yang terkesan ambisius, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak harus mampu berinovasi untuk mengejarnya.

Memang sulit mengejar target penerimaan pajak, apabila hanya mengandalkan asumsi ekonomi. Lembaga konsultan perpajakan DDTC Fiscal Research juga memperkirakan realisasi penerimaan pajak 2019 tak akan mencapai target, jika masih mengandalkan asumsi ekonomi. Peneliti perpajakan DDTC Bawono Kristiaji memperkirakan penerimaan pajak tahun depan sekitar Rp 1.450 - Rp 1.491 triliun.

"Realisasi penerimaan pajak hanya antara 91,9 persen hingga 94,5 persen dari target Rp 1.577,6 triliun," ujar Bawono dalam Konferensi Pers Outlook dan Tantangan Sektor Pajak 2019 'Berebut Suara Wajib Pajak' di Menara DDTC, Jakarta, Kamis (13/12).

(Baca: Data Keuangan Nasabah Jadi Andalan Buat Capai Target Pajak 2019)

Menurutnya, realisasi penerimaan pajak tahun depan bisa melebihi prediksi DDTC, jika pemerintah bisa mengejar penerimaan dari wajib pajak yang menyimpan hartanya di luar negeri dengan memanfaatkan program AEoI. Pelaksanaan AEoI antarnegara bertujuan supaya pemerintah lebih leluasa melacak potensi pajak di luar negeri. Sistem ini memungkinkan dilakukan pertukaran informasi rekening wajib pajak lintas negara.

Menteri Sri mengatakan saat ini sudah ada kemajuan penting dalam kerja sama antarnegara dalam upaya meningkatkan penerimaan pajak. Beberapa diantaranya, kerjasama anti penghindaran pajak melalui pengalihan laba ke negara lain (Base Erosion Profit Shifting/BEPS), pertukaran data informasi keuangan atau Automatic Exchange of Information (AEOI), serta perpajakan ekonomi digital.

Selama ini kelompok kaya mudah memanfaatkan otoritas negara bebas pajak (tax haven) dan celah regulasi antarnegara untuk menghindari pajak. “Indonesia akan memanfaatkan kerja sama ini untuk meningkatkan kepatuhan pajak dan meningkatkan basis pajak," ujar Sri awal Desember 2018.

Program AEoI sudah mulai berjalan September lalu. Saat ini Ditjen Pajak sudah menerima data keuangan dari 65 negara, termasuk di antaranya beberapa negara yang juga dikenal sebagai surga pajak. “Kami sudah menerima data keuangan dari negara-negara seperti Panama, Cayman Islands, Bahama, Guernsey, juga Singapura dan Hong Kong,” kata Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama kepada Katadata.co.id, Jumat (7/12).

(Baca: Buka-bukaan Data Keuangan Negara Surga Pajak)

Meski begitu, implementasi AEoI belum bisa berpengaruh terhadap realisasi penerimaan pajak tahun ini. Ditjen Pajak masih harus mengolah data-data yang diterima dalam dua hingga tiga bulan. Artinya, Ditjen Pajak baru bisa memanfaatkannya pada akhir 2018 atau awal 2019, sehingga baru bisa berdampak pada penerimaan pajak tahun depan.

AEoI merupakan komitmen dari negara-negara yang tergabung dalam Global Forum on Transparency and Exchange of Information. Inti dari implementasi kebijakan tersebut adalah pertukaran informasi rekening atau nasabah, yang dalam konteks Indonesia milik warga negara Indonesia dengan yurisdiksi mitra secara otomatis.

Data yang dipertukarkan Indonesia dengan negara lain dalam AEoI diatur oleh Undang-Undang Nomor 9 tahun 2017 tentang pertukaran data nasabah. Berdasarkan aturan tersebut ada lima elemen data yang dipertukarkan. Kelimanya adalah identitas pemilik rekening, nomor rekening, identitas lembaga keuangan, saldo rekening dan penghasilan yang diperoleh dari rekening (bunga).

(Baca juga: Rem Utang, Penerimaan Perpajakan Digenjot Buat Belanja Negara)

Data ini yang nantinya akan dimanfaatkan oleh Ditjen Pajak untuk mengejar penerimaan pajak yang selama ini tidak tersentuh. Data hasil program AEoI diyakini bisa mendorong kepatuhan wajib pajak dalam membayar kewajibannya. Program ini berpotensi meningkatkan penerimaan pajak dari pajak penghasilan (PPh) badan dan orang pribadi.

Dari data ini, Ditjen Pajak akan memeriksa SPT (Surat Pemberitahuan Tahunan) wajib pajak tersebut. Ditjen memastikan tidak akan mengusik wajib pajak yang sudah melaporkan seluruh harta dalam SPT dan membayar pajaknya. Penindakan hanya akan dilakukan bagi wajib pajak yang ketahuan memiliki harta tapi belum dilaporkan. Dua tahun lalu, pemerintah telah memberikan kesempatan bagi wajib pajak mengungkapkan hartanya melalui program pengampunan pajak atau tax amnesty.

Ada sanksi bagi wajib pajak yang sengaja menyembunyikan dan tidak pernah melaporkan hartanya dalam SPT Pajak dan tidak ikut program tax amnesty. Harta yang tidak dilaporkan tersebut akan dianggap sebagai penghasilan tambahan dan dikenakan PPh. Bagi wajib pajak yang telah ikut tax amnesty, akan dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari PPh terhutang. Sementara bagi wajib pajak yang tidak ikut tax amnesty akan dikenakan denda 2% per bulan selama dua tahun.

(Baca juga: Resep Baru Pemerintah Menghimpun Pajak Pasca Tax Amnesty)

Tak bisa dipungkiri, sebagian masyarakat kelompok kaya menyimpan hartanya di luar negeri. Potensi meraup penerimaan negara dengan mengejar pajak dari orang tersebut sangat besar. Tax Justice Network memperkirakan dana WNI yang terparkir di luar negeri mencapai US$ 331 miliar atau sekitar Rp 4.000 triliun. Indonesia termasuk dalam deretan 10 negara berkembang yang warganya paling banyak menyimpan dana di luar negeri, terutama di negara surga pajak (tax haven).

Global Financial Integrity juga pernah memprediksi, aliran dana haram dari Indonesia ke luar negeri selama periode 2009 hingga 2014 mencapai Rp 1.000 triliun. Dalam paparan di Mahkamah Konstitusi pada 2016 lalu, terkait uji materi Undang-Undang Pengampunan Pajak, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sempat mengutip data dari organisasi internasional tentang ribuan triliun harta orang kaya Indonesia di negara surga pajak.

Dari total Rp 3.250 triliun harta orang-orang sangat kaya asal Indonesia, sebesar Rp 2.600 triliun diantaranya disimpan di Singapura. Selebihnya, dana tersebut tersimpan di berbagai negara/yurisdiksi yang dikenal sebagai surga pajak seperti Hong Kong, Macau, Labuan, Luxemburg, Swiss, dan Panama. Semuanya sudah bekerja sama dengan Indonesia saat ini.

Salah satu negara yang terkenal sebagai tempat menaruh harta paling aman di dunia, yakni Swiss. Negara ini pun sudah bekerja sama dengan Indonesia sejak 2017. Mulai September tahun depan, data keuangan orang kaya Indonesia di Swiss bakal terbongkar.

(Baca: 3.642 Lembaga Keuangan Siap Lapor Data Nasabah ke Ditjen Pajak)

Masih ada kendala

Upaya mengejar pajak dari luar negeri memang tidak mudah, meski telah ada AEoI. Pengolahan data keuangan yang diterima Indonesia dari berbagai negara masih sulit. Persoalan manajemen pengelolaan data yang belum sempurna menjadi gejala umum yang muncul. Sebab, banyak negara yang masih harus beradaptasi dengan mekanisme tersebut, termasuk Indonesia. Format data seluruh negara yang terlibat dalam AEoI belum seragam, sehingga banyak negara kesulitan membaca dan mengolahnya.

Ditjen Pajak pun sudah menyadari adanya kendala ini. Untuk itu, penguatan infrastruktur teknologi informasi (IT) menjadi penting. Makanya, Ditjen Pajak menjadikan reformasi sistem IT, salah satu dari agenda reformasi perpajakan.

Yoga mengungkapkan saat ini Ditjen Pajak tengah membangun sistem IT pajak yang lebih canggih dari yang sekarang digunakan. Sistem ini mengadopsi sistem yang sudah banyak digunakan di negara maju mengintegrasikan seluruh proses bisnis perpajakan, termasuk basis datanya. Dengan begitu, Ditjen Pajak akan lebih efektif dalam pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum.

(Baca juga: Pertukaran Data Lintas Negara Tingkatkan Efektivitas Big Data Pajak)

Menurutnya, pembangunan sistem IT yang baru ini membutuhkan waktu empat hingga lima tahun. Tahun ini, prosesnya baru memasuki tahap pengadaan sistem. Setelah itu masih ada tahap pengembangan sebelum akhirnya digunakan sepenuhnya. "Kira-kira 2021 awal sistem baru akan mulai diluncurkan. Itupun baru tahap pertama. Untuk ideal perlu empat sampai lima tahun," ujarnya.

Untuk saat ini, DJP masih akan mengoptimalkan sistem yang ada sejak 2002, dalam mengolah data dan informasi. Dengan segala keterbatasan, sistem ini terpaksa harus mampu memvalidasi data yang diterima dari negara lain dalam kerangka AEoI.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) memprediksi tindakan pencucian uang di bidang perpajakan masih berlangsung meski AEoI dengan puluhan negara dan yurisdiksi pajak sudah berjalan. Belum semua negara menerapkan AEoI, sehingga wajib pajak masih memiliki kesempatan untuk menyembunyikan hartanya di luar negeri.

Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rai mengatakan wajib pajak masih memiliki banyak cara untuk menghindari kewajibannya membayar pajak. Dia mencontohkan salah satunya dengan menyembunyikan identitas asli pemilik manfaat (beneficial ownership) dari sebuah korporasi. "Jadi korporasi atas nama siapa, tapi sebenarnya penerima manfaatnya beda lagi. Itu salah satu contohnya," ujarnya.

 (Baca juga: WNI Simpan Ribuan Triliun Harta di Luar Negeri, Diimbau Lapor Sukarela)

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami