“Selama bertahun-tahun, Amerika Serikat kehilangan US$ 600 hingga 800 miliar per tahun di sektor perdagangan. Dengan Cina kami kehilangan US$ 500 miliar. Kami tidak akan melakukan itu lagi!”
**
Donald Trump selalu memiliki cara untuk menjadi “pusat perhatian” dunia. Cuitan di akun Twitter-nya pada Senin (6/5) kemarin membuat gusar pelaku pasar global. Kicauan Presiden Amerika Serikat ini memantik ketegangan baru di tengah upaya negosiasi perang dagang dengan Tiongkok, yang rencananya digelar pekan ini.
Ancaman Trump terhadap Beijing tersebut sebagai lanjutan kicauan pada hari sebelumnya. Presiden dari Partai Republik ini menyatakan proses perundingan dagang Amerika dan Cina terlalu lambat. Akibatnya, Negara Paman Sam itu makin menderita seiring defisit neraca perdagangan mereka merah membara.
Karena itu, Amerika segera menaikkan tarif bea masuk impor dari Tiongkok dari 10 menjadi 25 % untuk ribuan komoditas senilai US$ 200 miliar atau sekitar Rp 2.800 triliun. Seperti dilansir Reuters, kenaikan tarif tersebut akan diterapkan Jumat besok (10/5).
Tak hanya itu, Trump hendak mengenakan tarif 25 % terhadap produk teknologi asal Negeri Panda senilai US$ 50 miliar. Bahkan pemilik grup usaha yang tersebar dari Panama hingga Indonesia ini menimbang untuk memperpanjang bea 25 % pada impor lainnya hingga US$ 325 miliar. “Ancaman itu upaya Trump memaksa Tiongkok untuk segera sepakat dengan negosisasi dagang yang sedang berlangsung,” kata Ekonom Samuel Aset Manajemen Lana Soelistianingsih.
Pasar khawatir. Bursa saham utama di Asia kompak melemah secara signifikan pada Senin kemarin. Indeks Strait Times jatuh 3,31 %, Shanghai anjlok 4,92 %, Hang Seng jebol 3,44%, KLCI turun 0,64 %, serta PSEi melemah 0,52 %. Di Indonesia, indeks harga saham gabungan (IHSG) pada perdagangan saham Bursa Efek Indonesia (BEI) awal pekan ini terkoreksi 64,65 poin dari posisi penutupan akhir pekan lalu atau turun 1,02 % ke posisi 6.254,81.
Nilai tukar rupiah tak kalah terpeleset. Senin kemarin, mata uang Indonesia dibuka melemah 43 poin atau 0,3 % ke posisi 14.309 per dolar Amerika. Angka ini merupakan yang terendah sejak awal Maret lalu. Bahkan pada siangnya di pasar spot, data Bloomberg menunjukkan rupiah sudah di level 14.330.
(Baca: Tiongkok Isyaratkan Balas Tarif AS, Picu Perang Dagang Berlanjut )
Padahal, kegusaran pasar akan perang dagang dua kekuatan ekonomi besar dunia ini sempat mereda sejak akhir tahun lalu. Saat itu kedua negara sepakat untuk menegosiasikan perang tarif. Mata uang banyak negara pun menguat terhadap dolar Amerika, tak terkecuali rupiah yang kembali beringsut mendekati level 14.00 setelah beberapa bulan sebelumnya sempat tersungkur hingga menyentuh 15.000 per dolar.
Sentimen positif lain yang membuat rupiah perkasa lantaran bank sentral Amerika, The Federal Reserve, tidak jadi menaikkan suku bunga acuan secara agresif. Masuknya kembali aliran dana asing ke pasar finansial domestik juga menopang penguatan rupiah hingga lebih dari 8 % dari posisi Oktober 2018 ketika terpuruk hingga 15.253. (Lihat Databoks berikut)
Namun harapan membaiknya hubungan Washington dan Beijing redup dengan pernyataan terbaru Trump tadi. “Risiko perang dagang yang meledak meningkat,” kata ekonom senior di Maybank Kim Eng Research Pte. Chua Hak Bin. Seperti dikutip Bloomberg, ia mengatakan ancaman Trump mungkin menjadi bumerang. “Karena Cina tidak akan mau bernegosiasi dengan pistol yang mengarah ke kepala mereka.”
Tiongkok pun menimbang untuk menunda keberangkatan delegasi perdagangan yang dipimpin Wakil Perdana Menteri Liu He. Semestinya, Liu dan sekitar 100 pejabat lainnya dijadwalkan tiba di Amerika pada hari ini untuk menghadiri putaran final perundingan.
Drama Panas Perang Dagang Amerika dan Cina
Pernyataan Trump pekan ini membakar lagi genderang perang dagang yang ia tabuh bertahun-tahun lalu, bahkan jauh hari sebelum memenangkan pemilihan presiden pada akhir 2016. Dalam kampanye untuk merebut hati pemilih Amerika, ia mengobarkan semangat nasionalisme dan membangun proteksi negara.
Menggunakan jargon American First, sejumlah perjanjian dagang ia potong, juga kabur dari beberapa persekutuan ekonomi lintas negara. Dia, misalnya, hengkang dari perjanjian dagang negara-negara Amerika Utara (NAFTA). Setelah dilantik menjadi orang nomor satu di Negeri Adidaya tersebut pada 20 Januari 2017, satu per satu, Trump benar-benar mengeksekusi rencananya.
Pertama kali, Trump mengarahkan “moncong serangannya” ke Cina pada Maret 2017. Rencana menaikkan tarif bea masuk sejumlah komoditas dianggap sebagai senjata ampuh untuk melawan keculasan Negeri Tembok Raksasa -bersama 16 negara lainnya termasuk Indonesia yang dituduh curang- yang dituding menggerogoti uang Amerika. Dan Cina tak tinggal diam atas ancaman tersebut.
Tak satu pun dari kedua pihak mengendurkan diri sejak perang tarif dimulai pada Juli 2018, ketika Amerika menerapkan bea atas barang-barang Tiongkok senilai US$ 34 miliar dan menambahnya untuk impor US$ 16 miliar pada Agustus.
(Baca: Perang Dagang AS-Tiongkok Panas Lagi, Rupiah Melemah ke 14.300 per US$)
Bahkan, mulai 24 September 2018, Amerika kembali menaikkan tarif bea masuk 10 % senilai lebih dari US$ 200 miliar. Ketika itu, Trump pun berencana mendongkrak lagi bea impor dari Tiongkok hingga 25 % mulai awal 2019. Rupanya, kekesalan ini setelah ia melihat upayanya belum berhasil menurunkan defisit neraca perdagangan Amerika – Cina. (Lihat Databakos di bawah).
Sebenarnya, sikap kooperatif ditinjukkan oleh Cina agar ketegangan perang dagang ini diselesaikan dalam meja perundingan. Namun Beijing menegaskan bahwa penyelesaian kebuntuan atas perdagangan dengan Amerika tidak dapat terjadi selama Trump terus mengancam memberlakukan tarif lebih lanjut.
Karena itu, sekitar satu jam setelah Trump efektif memberlakukan kenaikan tarif lebih lanjut, Tiongkok menerbitkan sebuah dokumen yang menegaskan posisinya dalam kebuntuan antara kedua negara. Pembicaraan yang sedianya dijadwalkan berlangsung pekan itu dibatalkan, persis seperti yang terjadi saat ini.
“Pintu untuk pembicaraan perdagangan selalu terbuka tetapi negosiasi harus diadakan dalam suatu kondisi yang saling menghormati,” menurut dokumen yang diterima Kantor Berita Xinhua, seperti dikutip Bloomberg. “Negosiasi tidak dapat dilakukan di bawah ancaman tarif.”
Putaran terakhir pemberlakuan tarif oleh Amerika berlaku tepat setelah tengah malam waktu Washington terhadap daftar produk-produk Cina mulai dari daging beku hingga komponen televisi. Cina pun menyatakan siap membalas dengan mengenakan tarif pada barang-barang asal Amerika senilai US$ 60 miliar.
Pemerintah Cina menerapkan tarif balasan sepekan kemudian yang mencakup tarif 5 % tambahan pada sekitar 1.600 jenis produk Amerika, termasuk komputer dan tekstil, serta tarif 10 % tambahan pada lebih dari 3.500 item termasuk bahan kimia, daging, gandum, anggur, dan gas alam cair.
Risiko konflik dua negara berkekuatan ekonomi terbesar ini yang dikhawatirkan membawa resesi ekonomi dunia. Sejumlah ekonom memperingatkan bahwa perang dagang Amerika dan Cina dapat menggerogoti ekonomi global serta mengubah rantai pasokan perusahaan-perusahaan multinasional.
Sejumlah perusahaan telah mengeluhkan bahwa waktu antara pengumuman dan penerapan tarif terbaru pada ribuan produk terlalu pendek. Apalagi, perang perdagangan yang berlarut-larut dapat memukul inflasi di Amerika, terutama karena kenaikan tarif di beberapa kategori seperti furnitur, pakaian, dan teknologi. “Peritail sudah menghadapi gelombang pasang tarif. Yang terbaru ini adalah tsunami,” kata Wakil Presiden Perdagangan Internasional untuk Asosiasi Pemimpin Industri Ritail Hun Quach,.
Ketegangan sedikit mengendor di awal tahun 2019 ketika Trump menyatakan sepakat untuk mengakhiri perang tarif dengan Tiongkok. Hal itu bisa ditandatangani dengan Presiden Cina Xi Jinping jika kedua negara dapat menjembatani perbedaan yang tersisa.
Dilansir oleh Reuters, Trump mengatakan perundingan dagang Amerika-Cina semakin dekat untuk mencapai kesepakatan. Trump menunda kenaikan tarif senilai US$ 200 miliar yang semula dijadwalkan berlaku pada 1 Maret 2019. Keputusan ini menghadirkan sentimen positif ke pasar keuangan global pada perdagangan Senin (25/2/2019).
Sayang, mimpi membaiknya situasi tersebut buyar. Awal pekan ini Trump kembali mengancam menerapkan kenaikan tarif US$ 200 miliar dengan menuding Cina bertele-tele dalam proses perundingan.