Dampak Larangan Ekspor CPO: Industri Hulu Sawit Bisa Kolaps

Tia Dwitiani Komalasari
18 Mei 2022, 11:21
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah
ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas/rwa.
Sejumlah truk pengangkut Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit mengantre untuk pembongkaran di salah satu pabrik minyak kelapa sawit milik PT.Karya Tanah Subur (KTS) Desa Padang Sikabu, Kaway XVI, Aceh Barat, Aceh, Selasa (17/5/2022). Harga jual Tanda Buah Segar (TBS) kelapa sawit tingkat petani sejak dua pekan terakhir mengalami penurunan dari Rp2.850 per kilogram menjadi Rp1.800 sampai Rp1.550 per kilogram, penurunan tersebut pascakebijakan pemeritah terkait larangan ekspor minyak mentah atau crude palm oil

Kebijakan Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit mentah (CPO) dan sebagian turunannya dinilai tidak tepat sasaran dalam mengatasi kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng di dalam negeri. Larangan ekspor CPO tersebut bahkan bisa menimbulkan masalah baru yang merusak rantai pasok industri sawit, terutama sektor hulu.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core) Mohammad Faisal mengatakan, kebijakan larangan ekspor CPO sejak awal memang tidak efektif. Menurut dia, akar permasalahan dari kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng di dalam negeri adalah distribusi, bukan pasokan.

“Masalahnya bukan di suplai, sejak awal suplai itu ada. Masalahnya ada di distrubusi dari produsen ke konsumen, ini yang belum terpecahkan hingga sekarang,” ujar Faisal kepada Katadata.co.id, Rabu (18/5).

Faisal mengatakan, larangan ekspor CPO malah menimbulkan masalah baru yaitu tidak terserapnya produksi tandan buah segar (TBS) petani sawit. Hal itu karena sebagian besar produksi CPO Indonesia disalurkan ke luar negeri. Dengan demikian, larangan ekspor minyak goreng membuat tangka penyimpanan CPO menjadi penuh.

“Ketika Sudah ada larangan ekspor kemudian keuntungan perusahaan kelapa sawit jauh berkurang, maka berdampak ke petani, dimana pembelian TBS ditekan untuk mengatasi masalah profit perusahaan,” ujarnya.

Faisal mengatakan, perusahaan kelapa sawit mengalami penurunan keuntungan akibat larangan ekspor tersebut. Namun mereka juga tidak rugi. Kerugian terbesar justru dirasakan oleh petani sawit.

“Di Sumatera sekarang sudah ada TBS yang harganya di bawah Rp 1000 per kg, jauh di bawah harga normal sekitar Rp 3000-an,” ujar dia.

Menurut Faisal, pemerintah sejak awal tidak memiliki pemahaman komprehensif dari rantasi pasok (supply chain) sawit. Hal ini terlihat dari dampak kebijakan larangan eskpor CPO kepada petani sawit yang tidak diantisipasi.

“Kebijakan harus diakhiri, jika diteruskan saya rasa bisa kolaps, terutama di hulu,” ujarnya.

Petani Setop Panen

Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Gulat Manurung mengatakan, harga yang anjlok menyebabkan petani terpaksa setop memanen TBS karena tidak menguntungkan. 

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...