Revlon Dulu Kuasai Pasar Kosmetik, Kini Bangkrut karena Empat Faktor
Perusahaan kosmetik raksasa, Revlon, mengajukan perlindungan kebangkrutan Bab 11 di Amerika Serikat. Revlon bergulat dengan beban utang dan rantai pasokan yang tersendat.
Perusahaan yang berbasis di New York tersebut berharap menerima US$ 575 juta dalam pembiayaan debitur dari basis pemberi pinjaman yang ada. Biaya ini akan digunakan untuk mendukung operasi sehari-hari.
“Pengajuan akan memungkinkan Revlon untuk menawarkan kepada konsumen kami produk ikonik yang telah kami berikan selama beberapa dekade, sambil memberikan jalur yang lebih jelas untuk pertumbuhan kami di masa depan," kata Presiden dan Chief Executive Officer Revlon, Debra Perelman, dalam siaran pers, seperti dikutip dari Guardian, Senin (20/6).
Revlon adalah bisnis raksasa pertama yang mengajukan perlindungan kebangkrutan di Amerika Serikat selama pandemi Covid-19. Namun demikian, terdapat lebih banyak lagi perusahaan ritel di AS yang alami kebangkrutan pada 2020. Angkanya menandai level tertinggi dalam 11 tahun.
Perusahaan yang berusia 90 tahun tersebut memiliki utang jangka panjang sebesar US$ 3,31 miliar per 31 Maret, menurut pengajuan sekuritas. Kapitalisasi pasar perusahaan hampir mencapai US$ 123 juta pada penutupan perdagangan Rabu (15/6). Perdagangan saham Revlon dihentikan pada sesi premarket pada Kamis (16/6).
Revlon pernah menjadi perusahaan kosmetik dengan penjualan terbesar kedua dunia setelah Avon pada abad ke-20. Saat ini, penjualan Revlon merosot ke no.22, menurut peringkat terbaru oleh jurnal perdagangan mode WWD.
Pada tahun 1970, Revlon menjadi perusahaan kecantikan pertama yang menampilkan model kulit hitam, Naomi Sims, dalam iklannya. Pada 1980-an, ia membuat gebrakan besar dengan kampanyenya yang menampilkan beragam supermodel terkenal seperti Iman, Claudia Schiffer, Cindy Crawford, dan Christy Turlington.
Berikut empat penyebab Revlon mengalami kebangkrutan:
1. Lambat beradaptasi dengan perubahan selera kecantikan
Revlon telah menjadi produk populer di rak-rak toko selama beberapa dekade. Namun dalam beberapa tahun terakhir, perusahaan berjuang dengan hutang yang besar. Selain itu, perusahaan juga gagal mengantisipasi perubahan selera kecantikan sehingga kalah bersaing dengan kompetitor baru.
Perusahaan lambat beradaptasi dengan pergeseran selera perempuan dari kosmetik warna cerah, seperti lipstik merah, ke warna yang lebih kalem mulai tahun 1990-an.
2. Kalah saing dengan brand selebriti
Revlon juga menghadapi persaingan yang meningkat dari merek lain, termasuk dari lini selebriti seperti Kylie. Lini miliki selebriti Kylie Jenner tersebut tidak perlu berinvestasi banyak dalam pemasaran karena memiliki follower yang banyak di media sosial mereka.
Sementara Revlon membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan produk baru sehingga biayanya tinggi. Perelman mengakui, perusahaannya belajar dari peluncuran produk baru selebriti seperti Kylie agar lebih efektif dan efisien. Salah satunya dengan memotong waktu berbulan-bulan untuk mengembangkan produk baru.
3. Penggunaan masker saat pandemi Covid-19
Masalah Revlon semakin intensif karena pandemi membuat orang-orang menggunakan masker. Hal ini ternyata mengurangi minat konsumen pada pembelian lipstik. Pembatasan kegiatan di luar rumah juga menyebabkan masyarakat memotong anggaran untuk pembelian kosmetik.
Penjualan Revlon turun 21% menjadi US$ 1,9 miliar pada tahun 2020. Perusahaan menghindari kebangkrutan pada akhir 2020 dengan membujuk cukup banyak pemegang obligasi untuk memperpanjang utangnya yang jatuh tempo.
Angka penjualan itu rebound 9,2% menjadi $2,08 miliar pada 2022, karena konsumen kembali ke rutinitas pra-pandemi. Pada kuartal I 2022, penjualan Revlon naik hampir 8%.
4. Kesulitan rantai pasok
Dalam beberapa bulan terakhir, Revlon mengalami tantangan rantai pasokan dan biaya bahan baku yang lebih tinggi. Hal ini juga terjadi di perusahaan lainnya.
Perusahaan kecantikan itu mengalami gangguan logistik sehingga sulit memenuhi pesanan pelanggan pada Maret 2022. Perelman mengatakan, struktur permodalan perusahaannya membatasi kemampuan mereka untuk mengatasi masalah ekonomi makro yang terjadi saat ini. Perusahaan juga berjibaku dengan pengurangan tenaga kerja.
Perusahaan tidak dapat memenuhi hampir sepertiga permintaan pelanggan untuk produknya secara tepat waktu. Hal itu karena ketidakmampuan untuk mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup dan teratur.
Sementara itu di Indonesia, industri kosmetik lokal bersaing dengan produk impor untuk menguasai pasar domestik. Namun mereka tetap bertahan dan masih menghasilkan keuntungan. Saat ini, setidaknya ada lima perusahaan kosmetik dengan nilai penjualan miliaran per bulan yang sudah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI).