Atur Imunitas dan Antikritik DPR, UU MD3 Akhirnya Digugat ke MK

Yuliawati
Oleh Yuliawati
15 Februari 2018, 13:35
DPR MPR
Katadata | Arief Kamaludin
Suasana sidang DPR/MPR.

Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) pada Senin (12/2). Meski baru disahkan beberapa hari lalu, UU yang memiliki beberapa pasal kontroversial ini secara resmi digugat ke Mahkamah Kontitusi.

Penggugat UU MD3 adalah Forum Kajian Hukum dan Kontitusi (FKHK) dengan kuasa hukum pemohon Irmanputra Sidin & Associates. FKHK sebelumnya menggugat uji materi hak angket KPK di DPR. 

Gugatan uji materi dengan nomor registrasi 1756/PAN.MK/II/2018 disampaikan sejak Rabu (14/2). "Kami menggugat Pasal 73 ayat (3) dan ayat (4) huruf a dan c, Pasal 122 huruf k, Pasal 245 ayat (1)," kata salah satu kuasa hukum pemohon, Victor Santoso Tandiasa, kepada Katadata, Kamis (15/2).

(Baca juga: Menyoroti Aturan Imunitas dan Antikritik DPR dalam UU MD3)

Kuasa hukum menjelaskan terdapat tiga poin dalam subtansi UU MD3 yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, yakni:

Pertama, UU MD3 Pasal 73 ayat 4, mengatur mengenai pemanggilan paksa terhadap rekan kerja yang mangkir hadir dalam rapat di DPR. Bunyi pasal tersebut: Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak hadir setelah dipanggil tiga kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

"Aturan panggil paksa ini pada pokoknya bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip DPR sebagai perwakilan rakyat," kata Victor.

Selain itu, pemohon uji materi UU MD3 menganggap pemanggilan paksa merupakan instrumen untuk mengontrol perilaku kekuasaan. "Sehingga tidak relevan kemudian untuk mengontrol perilaku warga masyarakat dengan menjadikan warga masyarakat sebagai korban dari pemanggilan paksa," kata dia.

(Baca juga: Antikritik, UU MD3 Didukung Partai Pengusung Jokowi dan Prabowo)

Kedua, UU MD3 Pasal 122 huruf k mengatur hak DPR dalam mengambil langkah hukum terhadap pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR atau anggotanya. Pasal 122 huruf k dalam revisi UU MD3 itu menyebutkan, dalam melaksanakan fungsi Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas: (k) Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang, perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.

Victor menyatakan aturan tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat dan prinsip perwakilan melalui pemilu. Sesuai UUD 1945, tugas DPR terkait fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan.

"Oleh karena fungsi DPR bukanlah untuk melakukan langkah hukum, tetapi fungsinya hanya membentuk sekaligus mengawasi pelaksanaan hukum termasuk anggaran," tutur Victor.

Apabila DPR mengambil langkah hukum, maka akan merendahkan marwah dan kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat.

"Karena level DPR bukanlah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang secara kedudukan berada pada posisi yang lemah, terlebih orang perorangan diantaranya terdapat seorang warga negara yang tua renta dan miskin papa bisa menjadi subjek digugat perdata bahkan pidana oleh lembaga sebesar DPR."

(Bacajuga: Dapat Kursi Pimpinan DPR dan MPR, PDIP Akan Tunjuk Politisi Senior)

Ketiga, UU MD3 Pasal 245 ayat 1, yang mengatur hak imunitas. Pasal tersebut menyebutkan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD).

Pemohon menjelaskan pasal tentang Hak Imunitas Anggota DPR dianggap bertentangan dengan prinsip negara hukum yang menjamin persamaan di muka hukum. Hak imunitas yang diatur dalam Pasal 20A UUD 1945 seharusnya hak imunitas itu diberikan terkait dengan hubungannya dengan tugas dari anggota DPR.

Pasal imunitas yang diatur UU MD3 dianggap kontradiktif dan menimbulkan multitafsir yang bertentangan dengan Pasal 20A UUD 1945. "(Pasal UU MD3) dapat ditafsirkan semua tindak pidana dapat dimaknai menjadi hak imunitas yang absolut, sehingga seluruh tindak pidana tidak bisa menjangkau anggota DPR," jelas Victor.

Atas dasar hukum tersebut, kata Victor, pemohon uji materi menganggap UU MD3 merugikan beberapa hak Konstitusional yakni hak untuk diperlakukan sama di dalam hukum, hak untuk mendapatkan kemerdekaan mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, dan hak berjuang secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.

"(Juga) hak untuk mendapatkan kepastian hukum yang adil, hak untuk mendapatkan kebebasan berpendapat, hak untuk berkomunikasi, dan kemerdekaan pikiran, yang dengan demikian telah bertentangan dengan UUD 1945," kata Victor menjelaskan.

Cek juga data ini

Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...