Pembentukan Holding BUMN Migas Masih Terganjal di DPR
Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menyatakan rencana pembentukan perusahaan induk (holding) BUMN, khususnya sektor minyak dan gas bumi (migas), belum bisa terealisasi saat ini. Rencana ini masih menunggu kajian dan kesimpulan dari DPR terkait dasar hukumnya yaknua Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 2016.
Deputi Bidang Usaha Energi, Logistik, Kawasan, dan Pariwisata Kementerian BUMN Edwin Hidayat Abdullah mengatakan pembentukan holding BUMN masih terkendala di DPR. Alasannya, pihak Komisi VI masih harus mendalami dan memerlukan penjelasan lebih lanjut terkait isi dari PP 72/2016 yang dinilai mengabaikan peran DPR di dalam pembentukan holding ini.
"Kan (menunggu) kesimpulannya, belum disampaikan dari DPR. Waktu itu kan rapatnya ditunda," ujar Edwin saat ditemui usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI, di Gedung DPR /MPR RI Senayan, Jakarta, Kamis (23/2). (Baca: Jokowi Minta Menteri Rini Berhati-hati Membuat Holding BUMN)
Edwin mengaku penerbitan PP holding sebenarnya merupakan kewenangan pemerintah dan tanpa perlu persetujuan DPR. Meski begitu, pemerintah akan tetap menghormati DPR dalam rangka konsultasi terkait rencana ini. Makanya, selain menunggu kelengkapan administrasi, pemerintah juga akan menunggu kesimpulan dari DPR, sebelum merealisasikan rencana ini.
Di tempat yang sama, Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Azam Azman Natawijaya mengatakan pihaknya masih perlu mendapatkan penjelasan lebih lanjut terkait payung hukum pembentukan holding, sebelum memberikan kesimpulan. Saat ini, Komisi VI menganggap, PP 72/2016 itu masih memiliki banyak pellanggaran, yakni bertabrakan dengan Undang-Undang yang menjadi induk aturan tersebut.
"Makanya saat kami bahas dengan Menteri Sri Mulyani, kami menolak PP itu. Ini berbahaya bisa buat macam-macam," ujar Azman. (Baca: Ditolak DPR, Rini Pastikan PP 72/2016 Hanya Buat Holding BUMN)
Terkait dengan pembentukan holding migas yang menjadi prioritas pemerintah saat ini, Azman mengaku masih belum bisa menentukan pendapat. Menurutnya, pihak PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk. dan PT Pertamina (Persero), masing-masing memberikan pandangan yang berbeda ke Komisi VI.
Azman enggan menyebut pandangan PGN dan Pertamina yang dianggap bertolak belakang. Yang jelas, Komisi VI masih perlu berdialog dengan pemerintah terkait urgensi pembentukan holding BUMN, khususnya sektor migas ini. Karena, aset, saham BUMN juga merupakan keuangan negara yang harus diawasi oleh DPR.
Sebelumnya, Deputi Bidang Infrastruktur Bisnis Kementerian BUMN Hambra mengatakan penolakan terhadap PP 72/2016 ini bisa diselesaikan jika berbagai pihak bisa mengerti dan memahami aturan ini secara keseluruhan. "Satu hal yang paling sering dimunculkan, yaitu PP 72/2016 dimaksudkan untuk menjual BUMN atau privatisasi BUMN tanpa melalui DPR. Itu pandangan yang kurang pas," ujar Hambra kepada Katadata, Jakarta, Jumat (17/2).
(Baca: Kementerian BUMN: PP 72/2016 Membuat BUMN Sulit Privatisasi)
Pemerintah sebenarnya sudah pernah membentuk holding BUMN, seperti di sektor semen dan pupuk, dengan dasar hukum PP 44/2005. Dengan aturan tersebut pemerintah bisa mengalihkan seluruh saham BUMN yang ada dalam holding ke BUMN yang menjadi induknya. Dengan aturan ini, BUMN yang menjadi anak usaha merupakan perusahaan terbuka yang lepas dari kontrol negara.
Hal inilah yang membuat pemerintah merasa harus merevisi aturan tersebut dengan PP 72/2016, sehingga negara tetap memiliki satu saham di BUMN yang menjadi anak usaha. Saham ini pun bukan saham sembarangan, melainkan saham Dwiwarna yang berupa saham seri A. Dengan begitu, anak usaha yang bukan lagi BUMN, tetap didefinisikan sebagai perusahaan negara.
"UU keuangan negara menyebutkan perusahaan negara adalah di mana negara memiliki seluruh atau sebagian saham. UU keuangan negara juga bilang, kalau mau menjual atau memprivatisasi itu harus melalui persetujuan DPR," ujar Hambra. Selain itu, dalam aturan ini, BUMN yang menjadi anak usaha juga tetap diwajibkan menjalankan penugasan (Public Service Obligation/PSO) dari negara.