Koalisi Masyarakat Kecam Kriminalisasi Kasus Tuduhan Hina Megawati

Dimas Jarot Bayu
9 September 2017, 07:11
aksi kamisan
ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah
Aktivis Jaringan Solidaritas Korban Untuk Keadilan (JSKK) menggelar aksi Kamisan ke-478 di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (2/2).

Koalisi Masyarakat Sipil mengecam kriminalisasi terhadap berbagai aktivis yang kritis terhadap pemerintah. Kriminalisasi kerap menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Kasus teranyar, jurnalis dan aktivis Dandhy Dwi Laksono yang dilaporkan oleh DPD Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur, organisasi sayap PDI-P pada Rabu (6/9). Dandhy dilaporkan dengan tuduhan menghina dan menebarkan kebencian terhadap Ketua Umum PDI-P, Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.

Koalisi Masyarakat Sipil tersebut terdiri dari YLBHI, LBH Jakarta, LBH Bandung, Imparsial, Kontras, Amnesti International Indonesia, WALHI, Muhammadiyah, HRWG, JMPPK, AJI, dan SAFEnet Indonesia.  (Baca: Laporan Polisi terhadap Kaesang Dianggap Tak Disertai Bukti Kuat)

Direktur Eksekutif LBH Jakarta Alghifari Aqsa mengatakan, kasus Dandhy menambah panjang deretan represi dalam berpendapat dan berekspresi. “Ekspresi politik dimaknai ancaman bagi pemerintah. Opini warga dilawan dengan upaya pidana,” kata Alghiffari di Jakarta, Jumat (9/8).

(Baca: Suciwati Kecewa MA Tolak Kasasi Dokumen TPF Kasus Munir)

Merujuk pada data South East Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) sampai dengan Mei 2017 terdapat 129 kasus menggunakan pencemaran nama baik. Sebanyak 44% orang yang dilaporkan adalah orang awam, termasuk buruh, karyawan, dan ibu rumah tangga. Sementara, ada 23 orang aktivis (11%) yang menjadi pihak terlapor.

“Dua di antaranya adalah Ketua FORBali, Gendo karena kritik pedasnya dalam advokasi penolakan reklamasi Teluk Benoa, Bali dan Koordinator Kontras Haris Azhar karena mempersoalkan mafia narkoba yang melibatkan aparat negara,” kata Alghifari. 

Ketua Umum YLBHI Asfinawati menilai berbagai pelaporan tersebut mencederai demokrasi. Pasalnya, demokrasi tidak bisa hadir jika kebebasan berpendapat dan berekspresi dibungkam. (Baca: Jika Dibentuk TGPF, Novel Baswedan Akan Beberkan Keterlibatan Jenderal)

“Orang-orang ini dipidana karena bersuara kritis, padahal demokrasi adalah orang bebas bersuara,” kata Asfinawati.

Dia pun mendesak polisi untuk tidak memproses secara hukum berbagai laporan tersebut. Asfinawati mengatakan, sejauh ini polisi masih bersikap tebang pilih dalam memproses laporan yang ada.  (Baca: Sederet Kontroversi di Tangan Waseso)

Asfinawati pun mencontohkan perlakuan polisi kepada putra Jokowi, Kaesang Pangarep yang dilaporkan seorang warga Bekasi, Jawa Barat dengan sangkaan menyebarkan ujaran kebencian. Dalam kasus tersebut polisi memutuskan tidak memproses laporan karena menganggap tidak ada unsur pidana.

“Penghentian laporan baru terjadi pada laporan terhadap Kaesang karena dia anak Presiden,” kata Asfinawati. (Baca: Acho dan Nasib Para Konsumen yang Terjerat Pasal Pencemaran Nama Baik)

Hal senada disampaikan Direktur Eksekutif LBH Pers Nawawi Bahrudin. Nawawi meminta agar polisi tidak menerapkan standar ganda dalam memproses hukum berbagai laporan tersebut. Nawawi mengatakan, hal tersebut dapat membuat masyarakat menjadi takut untuk melakukan kritik terhadap penguasa.

“Polisi jangan lakukan standar ganda terhadap masyarakat,” kata Nawawi. 

Asfinawati menilai tulisan Dandhy merupakan bentuk kritik yang dijamin konstitusi. Pemerintah, pejabat publik, maupun ketua partai harus siap menerima kritik sebagai aspirasi masyarakat.

Halaman:
Editor: Yuliawati
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...