KATADATA - Rencana pemerintah membentuk Dana Ketahanan Energi (DKE) berakhir antiklimaks. Setelah menuai polemik selama dua pekan terakhir, pemerintah menunda kebijakan yang berwujud pungutan dari penurunan harga bahan bakar minyak (BBM) tersebut, Senin kemarin (4/1). Pasalnya, kebijakan yang dimotori oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said itu dianggap belum memiliki payung hukum yang kuat.
Keputusan pemerintah menunda kebijakan DKE tersebut setelah menggelar rapat maraton selama setengah hari kemarin. Semula, rapat digelar di kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, mulai pukul 13.00 WIB. Rapat koordinasi dipimpin oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution tersebut, dihadiri oleh Sudirman Said, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional / Kepala Bappenas Sofyan Djalil, dan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Ada pula Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Dwi Soetjipto dan para direksi perusahaan milik negara itu.
Berdasarkan informasi yang diperoleh Katadata, peserta rapat menyepakati DKE tetap akan dipungut dari selisih harga penjualan BBM yang diberlakukan mulai 5 Januari ini. Namun, DKE diganti namanya menjadi Dana Pengembangan Energi sesuai dengan penggunaannya untuk penelitian dan pengembangan energi baru dan terbarukan. Ini juga sesuai dengan amanat dalam Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi.
Seusai rapat koordinasi tersebut, Darmin mengungkapkan, pemerintah akan menyiapkan Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri ESDM sebagai turunan dari UU tersebut. Sembari menunggu aturan tersebut rampung, Pertamina tetap akan mulai memungut dana energi dari setiap liter penjualan BBM. Setelah ada peraturannya, maka dana tersebut akan ditempatkan di Badan Layanan Umum (BLU) yang ditargetkan rampung pada 10 Februari mendatang.
Namun, kesepakatan di level menteri tersebut ternyata kandas saat rapat kabinet terbatas di kantor Kepresidenan, mulai pukul 16.00 WIB, kemarin. Hasil rapat tersebut memutuskan penundaan kebijakan pembentukan dana energi karena belum memiliki dasar hukum yang kuat. “Masih ada beda pendapat, terutama mengenai dasar hukumnya,” kata Darmin.
Informasi yang diperoleh Katadata juga menyebutkan, keputusan presiden tersebut setelah mendapat masukan agar adanya rapat teknis terlebih dahulu melibatkan Kementerian Hukum dan HAM dan Kementerian Keuangan. Tujuannya untuk mempersiapka payung hukum sebelum meluncurkan kebijakan dana energi tersebut.
Melalui siaran pers Tim Komunikasi Presiden, Jokowi mengatakan pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT) tidak bisa ditunda lagi karena suatu saat energi fosil akan habis. Untuk itu, pemerintah akan mengembangkan EBT melalui dana ketahanan energi yang dikumpulkan dari pemanfaatan energio fosil. Namun, Presiden meminta kepada Menteri ESDM agar hati-hati dalam menyiapkan payung hukum dana energi tersebut. “Siapkan payung hukum yang kuat dan juga konsultasikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Hal inilah yang memunculkan dugaan bahwa kebijakan pungutan dana energi tersebut tanpa melalui persiapan yang matang dan dilakukan tiba-tiba dengan memanfaatkan momentum penurunan harga BBM per awal Januari ini. Di satu sisi, Sudirman mengakui bahwa penerapan kebijakan itu perlu ditata lagi dengan mempersiapkan peraturan dan implementasinya melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, perlu dikonsultasikan dengan DPR untuk menghindari kontroversi di tengah masyarakat.
Namun, secara tidak langsung, Sudirman menepis anggapan bahwa kebijakan tersebut dilakukan secara tiba-tiba. Ia mengklaim, rencana pembentukan DKE mengemuka sejak pertengahan 2015 melalui berbagai forum publik. Konsep awal perlunya dibentuk DKE juga pernah disampaikan dalam rapat kerja pemerintah dengan Komisi VII DPR, September tahun lalu.
(Baca : Ribut Dana Ketahanan Energi, Menteri Sudirman Konsultasi ke DPR).
Setelah rapat tersebut, pemerintah menindaklanjuti dengan menyiapkan regulasi untuk pembentukan DKE. Pada November lalu, Kementerian ESDM pun memulai inisiatif penyusunan regulasi, yang hingga kini masih terus disempurnakan.
Berdasarkan catatan Katadata, Menteri ESDM memang pernah memaparkan rencana DKE kepada para wartawan di Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta, 7 September 2015. Dalam paparan itu, sumber DKE berasal dari premi pengurasan energi fosil, APBN, selisih harga BBM dan perbankan. Dana ini nantinya digunakan untuk pengembangan eneri terbarukan, eksplorasi minyak dan gas bumi serta panas bumi, infrastruktur energi termasuk peningkatan cadangan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan pengembangan Sumber Daya Mineral (SDM) dan riset.
Dasar hukum yang dipakai untuk pembentukan dana ketahanan energi adalah Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) Pasal 22 dan 27. Selain itu, pemerintah menggunakan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2009 tentang Energi pasal 5, 20, 21, 22, 25 dan 30.
(Baca : Pemerintah Akan Bentuk BLU Pengelola Dana Ketahanan Energi)
Menurut Sudirman, kedua payung hukum tersebut mengamanatkan pembentukan Strategic Petroleum Reserves (SPR) atau cadangan minyak strategis. SPR ini adalah suatu cadangan simpanan minyak mentah dan BBM yang hanya digunakan dalam kondisi darurat. “Sampai saat ini Indonesia belum memiliki cadangan tersebut,” katanya. Padahal, negara lain seperti Myanmar memiliki cadangan minyak strategis selama 4 bulan, Vietnam (47 hari), Thailand (80 hari), Jepang (6 bulan), dan Amerika Serikat (7 bulan).
UU Energi dan Kebijakan Energi Nasional juga memberi mandat agar pada 2025 mendatang bauran energi baru dan energi terbarukan (EBT) di negara ini sudah mencapai 23 persen. “Sementara saat ini bauran EBT kita baru mencapai 7 persen.”
(Baca : Memicu Kegaduhan, Pemerintah Tunda Pungutan Dana Energi)
Di samping itu, pemerintah wajib mempercepat pembangunan akses energi bagi 2.519 desa yang letaknya amat sulit, masih belum terjangkau listrik, yang hanya bisa dipasok energi berbasis energi baru dan terbarukan. Begitupun 12.659 desa di Indonesia hanya bisa ditingkatkan akses energinya dengan pemanfaatan EBT.
Untuk itulah, Sudirman mengklaim, diperlukan dana energi. Ia mencontohkan, di negara yang kaya minyak sekalipun seperti Norwegia telah lama membentuk dana semacam ini. Norwegia memiliki DKE senilai US$ 17 miliar, ditambah Petroleum Fund US$ 836 miliar. Adapun Inggris dan Australia memiliki masing-masing US$ 1,5 miliar dan US$ 1,8 miliar. Bahkan, di Timor Timur yang belum lama membangun sektor energinya, telah menghimpun Petroleum Fund hingga US$ 17 miliar.
Meski begitu, Sudirman menyadari ketika pemungutan DKE diumumkan bersamaan dengan proses peninjauan harga BBM secara berkala saban tiga bulan yang jatuh pada awal Januari ini, banyak pihak yang bereaksi. Mulai dari anggota DPR, pengamat energi dan perminyakan, aktivis organisasi sosial kemasyarakatan, dan akademisi mengutarakan saran, kritik, masukan, dan rekomendasinya.
Kondisi inilah yang bermuara pada keputusan pemerintah menunda kebijakan pungutan dana energi tersebut. Dengan begitu, bakal memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk terus menyempurnakan kebijakan itu. “Saya menyimak seluruh masukan-masukan kritis, dan mendapat kesan bahwa hampir seluruh pihak mendukung gagasan pembentukan DKE, dengan syarat landasan hukum dan mekanisme pengelolaannya diperkuat,” kata Sudirman dalam pesan berantainya kepada para wartawan, Selasa pagi (5/1).