Supersemar, Sejarah yang Tidak Boleh Dilupakan

Siti Nur Aeni
11 Maret 2022, 12:26
Ilustrasi, Aksi Kamisan ke-626 di seberang Istana Merdeka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mendesak presiden untuk mencari kebenaran atas keberadaan salinan asli Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar,
ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto/aww.
Ilustrasi, Aksi Kamisan ke-626 di seberang Istana Merdeka. Jaringan Solidaritas Korban untuk Keadilan (JSKK) mendesak presiden untuk mencari kebenaran atas keberadaan salinan asli Surat Perintah Sebelas Maret atau Supersemar,

Supersemar menjadi bagian dari catatan sejarah yang tidak boleh dilupakan. Sebab, keberadaan mengubah wajah politik Indonesia secara drastis. Walaupun menjadi bagian dari sejarah, namun hingga saat ini naskah asli Supersemar belum diketahui keberadannya.

Dalam situs  kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id, disebutkan bahwa ada pihak yang menyatakan bahwa Supersemar kini berada di salah satu bank di luar negeri. Namun penyataan ini masih belum diyakini karena tidak ada bukti otentik yang membenarkannya.

Ada juga yang menyebutkan Supersemar berada di dalam negeri, yang konon disimpan oleh mantan Presiden Soeharto. Ketidakjelasan terkait keberadaannya, membuat Supersemar menjadi salah satu sejarah Indonesia yang masih gelap.

Latar Belakang Supersemar

Surat Perintah 11 Maret atau Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966. Surat ini berisi perintah yang mengintruksikan Letnan Jenderal (Letjen) Soeharto selaku Panglima Komando Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) untuk mengambil semua tindakan yang dianggap perlu. Tindakan yang diambil tertujuan untuk mengantisipasi situasi keamanan pada saat itu.

Pada akhirnya, Supersemar justru melemahkan kekuasaan Presiden Soekarno, karena langkah-langkah strategis yang diambil oleh Letjen. Soeharto pada akhirnya mengikis kekuasaan Soekarno. Beberapa langkah strategis tersebut antara lain, penangkapan 15 menteri dalam kabinet yang sebelumnya dibentuk Soekarno, membubarkan Tjakrabirawa, serta mengontrol media di bawah Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (Puspen TNI).

Mengutip dari sebuah tulisan berjudul “Supersemar: Sejarah dalam Balutan Kekuasaan” yang dimuat dalam Wacana Bernas Jogja tahun 2014, latar belakang Supersemar ini diawali dengan persitiwa 30 September 1965 yang menewaskan enam orang perwira tinggi dan satu perwira menengah TNI-AD. Peristiwa tersebut diikuti dengan pembantaian massal yang berlangsung antara Oktober hingga Desember 1965.

Kekacauan yang terjadi di akhir Septermber 1965 berhasil dikendalikan oleh Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Kostrad) yang saat itu dijabat oleh Mayor Jenderal (Mayjen) Soeharto. Tak hanya itu, kesigapan Soeharto mengatasi kondisi sejak 1 Oktober 1965 membuatnya diserahi tugas sebagai Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban. Karir Soeharto dalam bidang militer meningkat, beliau kemudian dilantik menjadi Panglima TNI-AD dengan pangkat Letjen.

Jumat, 11 Maret 1966 terjadi aksi demo mahasiswa dan ada juga sekelompok pasukan tak dikenal tanpa atribut bergerak di sekitar Monas. Kejadian itu, terjadi saat Presiden Soekarno sedang memimpin Sidang Kabiner Dwikora Yang Disempurnakan di Istana Merdeka.

Melihat situasi tersebut, akhirnya presiden meninggalkan sidang dan terbang menuju Istana Bogor menggunakan helikopter. Di sore harinya, datanglah tiga orang jenderal yang sebelumnya sudah berjumpa dengan Letjen Soeharto yang pada saat itu tidak hadir sidang kabinet karena sakit.

Di Istana Bogor, tiga jenderal tersebut bernama Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M. Jusuf, berhasil menyakinkan presiden untuk mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto. Surat tersebut berisi perintah untuk mengamankan situasi yang semakin memanas.

Setelah surat tersebut ditandatangani dan diterima Soeharto, politik Indonesia berubah. Tak sampai 24 jam, Soeharto langsung membubarkan PKI dan menangkap 15 menteri. Tak hanya itu, Soeharto juga menyingkirkan orang-orang yang pro Soekarno dari lingkaran kekuasaan.

Supersemar ini menjadi tanda perubahan besar pada orientasi beragam kebijakan politik Indonesia. Sejak saat itulah, secara perlahan namun pasti kekuasaan Soekarno mulai diruntuhkan. Kebijakan-kebijakan politik yang bersifat non teknis militer yang seharusnya menjadi wewenang presiden diambil alih Soeharto.

Halaman:
Editor: Agung
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...