Menilik Sejarah Pengaturan PPh Final di Indonesia

Image title
19 Juli 2022, 16:37
PPh, PPh final, pajak
ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha/hp.
Ilustrasi, petugas Kantor Pelayanan Pajak (KPP) melayani wajib pajak.

Dalam sistem perpajakan Indonesia, dikenal adanya pengenaan pungutan pajak penghasilan (PPh) yang bersifat final. Pengenaannya berbeda dengan skema pajak secara umum, atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam sepanjang tahun pajak berjalan.

Secara umum, PPh sendiri adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak orang pribadi, maupun badan usaha, selama satu tahun pajak.

PPh final pada dasarnya, adalah pungutan pajak atas penghasilan yang memiliki skema tarif, dan cara perhitungan yang berbeda dengan pajak penghasilan non-final.

Perkembangan Pengaturan PPh Final

Seiring dengan perubahan Undang-undang Pajak Penghasilan (UU PPh) di Indonesia yang telah terjadi enam kali sejak 1983. Ketentuan PPh final juga mengalami perkembangan.

Perubahan regulasi mengenai PPh final yang dilakukan seiring dengan perubahan UU PPh, dilakukan untuk menyelaraskan kebijakan dengan perkembangan perekonomian serta administrasi perpajakan. Mengutip ddtc.co.id, secara umum, pengaturan PPh final di Indonesia terbagi menjadi tujuh periode, berdasarkan UU yang mendasarinya.

1. UU No.7 tahun 1983

Istilah PPh final pertama kali dikenalkan dalam sistem perpajakan Indonesia melalui UU Nomor 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU 7/1983).

Berdasarkan UU 7/1983, skema PPh final dapat ditemukan dalam Pasal 21, Pasal 26, dan Pasal 4 Ayat (2). Skema PPh final dalam Pasal 21 UU 7/1983 dikenakan terhadap orang yang tidak memiliki penghasilan lainnya di luar penghasilan yang berkaitan dengan pekerjaan.

Atas penghasilan yang telah dipotong PPh tersebut, dianggap sebagai pelunasan atas tahun pajak yang bersangkutan sehingga karyawan atau orang tersebut tidak wajib menyampaikan SPT Tahunan.

Kemudian, dalam Pasal 26, skema PPh final diterapkan untuk skema pemotongan pajak bagi subjek pajak luar negeri atas objek pajak berupa bunga, dividen, royalti, sewa, dan sebagainya. Sementara, Pasal 4 Ayat (2) UU 7/1983 menjadi dasar pengenaan PPh final untuk bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya.

Adapun ketentuan lebih lanjut mengenai pajak atas bunga deposito berjangka dan tabungan lainnya diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah.

Selain itu, istilah PPh final juga ditemukan dalam penjelasan Pasal 8 Ayat (1), yang menyoroti PPh atas suami dan istri. Dalam konteks ini, penghasilan istri dianggap telah dipotong PPh final, jika penghasilan tersebut telah dipotong PPh Pasal 21, serta tidak memiliki hubungan dengan usaha suaminya.

Lalu, ada pula Pasal 15 UU 7/1983 yang mengatur mengenai norma perhitungan khusus, yang digunakan untuk menghitung penghasilan neto wajib pajak tertentu, yang tidak dapat dihitung dengan mekanisme secara umum yang diatur dalam Pasal 16.

2. UU No.7 tahun 1991

Perubahan pengaturan atas PPh final pertama kali dilakukan seiring dengan perubahan pertama UU PPh, melalui UU Nomor 7 tahun 1991. Memang, dalam UU ini, pemerintah tidak mengubah aturan dasar mengenai pengenaan PPh final.

Meski demikian, pemerintah mengeluarkan aturan pelaksana ketentuan Pasal 4 Ayat (2). Aturan turunan tersebut mengatur mengenai PPh atas bunga deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan diskonto sertifikat bank Indonesia (SBI) yang diterima atau diperoleh wajib pajak orang pribadi (WPOP), wajib pajak badan (WP badan), dan wajib pajak luar negeri (WPLN).

3. UU No.10 tahun 1994

Pada 1994, pemerintah memutuskan melakukan perubahan kedua atas UU PPh, dengan mengeluarkan UU Nomor 10 tahun 1994. Pada UU ini, setidaknya ada tujuh poin perubahan atas ketentuan PPh final.

Pertama, penambahan jenis penghasilan yang dikenakan PPh final di Indonesia yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2). Kedua, terdapat ketentuan mengenai pemotongan Pasal 23 yang bersifat final atas bunga simpanan yang dibayarkan koperasi.

Ketiga, aturan pendelegasian Pasal 15 kepada menteri keuangan, terkait dengan penerapan norma penghitungan khusus untuk menghitung penghasilan neto dari wajib pajak tertentu yang tidak dapat dihitung berdasarkan pada Pasal 16 Ayat (1) atau Ayat (3).

Halaman:
Berita Katadata.co.id di WhatsApp Anda

Dapatkan akses cepat ke berita terkini dan data berharga dari WhatsApp Channel Katadata.co.id

Ikuti kami

Artikel Terkait

Video Pilihan
Loading...