Gemar Terbitkan SBN Ritel, Utang Pemerintah Melonjak jadi Rp 5.910 T
Kementerian Keuangan melaporkan posisi utang pemerintah pusat naik Rp 1.096,34 triliun dari Rp 4.814,3 triliun pada November 2019 menjadi Rp 5.910,64 triliun per akhir November 2020. Peningkatan terjadi karena pelemahan ekonomi akibat Covid-19 serta peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional.
Jika dibandingkan bulan lalu, utang pemerintah pusat juga naik Rp 32,93 triliun dari Rp 5.877,71 triliun. "Dengan demikian, rasio utang pemerintah pusat terhadap Produk Domestik Bruto menjadi 38,13%," demikian tertulis dalam dokumen APBN KiTa edisi Desember 2020 yang dirilis Rabu (23/12).
Utang pemerintah pusat semakin didominasi dalam bentuk Surat Berharga Negara yang jumlahnya mencapai 83,9% dari total komposisi utang atau sebesar Rp 5.085,04 triliun. Hal ini menggambarkan upaya pendalaman pasar dan kemandirian pembiayaan.
SBN yang diterbitkan berdenominasi rupiah sebesar Rp 3.891,92 triliun yang terdiri dari Surat Utang Negara Rp 3.181,64 triliun dan Surat Berharga Syariah Negara Rp 710,28 triliun. Sementara SBN valas Rp 1.193,12 triliun meliputi SUN Rp 943,06 triliun dan SBSN RP 250,06 triliun.
Sepanjang tahun 2020, pemerintah telah melakukan penambahan penerbitan SBN untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan yang meningkat akibat pandemi, termasuk penerbitan SBN ritel. Hal ini sesuai dengan kebijakan umum pengelolaan utang untuk mengoptimalkan peran serta masyarakat dan melakukan pendalaman pasar SBN domestik.
SBN ritel terakhir yang diterbitkan pemerintah selama tahun 2020 adalah Sukuk Tabungan seri ST007. ST007 yang merupakan green instrument ini telah ditawarkan selama bulan November dan berhasil mencatat rekor baru dengan total pembelian dan investor terbanyak sepanjang penerbitan Sukuk Tabungan, yaitu total pembelian sebanyak Rp 5,42 triliun dengan total investor
sebanyak 16.992 orang.
Sementara itu, utang pemerintah dalam bentuk pinjaman tercatat sebesar Rp 825,59 triliun atau 16,1%. Pinjaman terdiri dari dalam negeri RP 11,55 triliun dan luar negeri Rp 814,05 triliun. Pinjaman luar negeri berasal dari bilateral Rp 311,31 triliun, multilateral Rp 460,32 triliun, serta bank komersil Rp 42,42 triliun.
Pemerintah melakukan serangkaian konversi pinjaman Bank Pembanguan Asia atau Asian Development Bank (ADB) dari mata uang dolar AS dengan tingkat bunga mengambang berbasis LIBOR menjadi mata uang euro dan yen Jepang dengan tingkat bunga tetap. Sejak September 2019 sampai dengan Oktober 2020, telah dilaksanakan lima kali konversi terhadap pinjaman-pinjaman program dan proyek dari ADB yang telah fully disbursed dengan total pinjaman yang dikonversi sebanyak 21 pinjaman senilai total US$ 6,2 miliar sehingga menghasilkan tingkat bunga tetap sebesar atau mendekati 0%.
Konversi pinjaman tersebut menunjukkan upaya pemerintah untuk mengelola portofolio utang dengan hati-hati melalui strategi diversifikasi mata uang dengan memanfaatkan situasi pasar keuangan yang favorable. Pemerintah diharapkan dapat mengunci biaya pinjaman dengan tingkat bunga yang relatif rendah di tengah tren penurunan bunga global sehingga berpotensi menghasilkan efisiensi biaya bunga utang senilai hingga Rp 500 miliar pada tahun 2021 atau Rp 4 triliun sampai
dengan pinjaman jatuh tempo pada tahun 2038.
Dari sisi mata uang, utang pemerintah pusat semakin didominasi utang dalam mata uang rupiah yang mencapai 66,4% dari total komposisi utang hingga akhir November 2020. Dominasi mata uang rupiah ini seiring kebijakan pengelolaan utang yang memprioritaskan sumber domestik dan penggunaan valas sebagai pelengkap untuk mendukung pengelolaan risiko utang valas.
Pengamat Ekonomi Institut Kajian Strategis Universitas Kebangsaan RI Eric Sugandi mengatakan utang yang sebagian besar merupakan SBN berdenominasi rupiah akan membantu pemerintah. "Jika porsi asing signifikan, maka harga obligasi, imbal hasilnya, dan nilai tukar rupiah rentan terhadap aliran modal asing keluar," kata Eric kepada Katadata.co.id, Rabu (23/12).
Walau sekarang asing masih betah dengan imbal hasil atau yield yang relatif tinggi, tetapi risiko keluarnya dana asing yang bisa menekan rupiah tetap ada. Yield yang tinggi juga menjadi bagian dari beban pembayaran utang yang mesti ditanggung oleh pemerintah.
Eric menilai semakin besar porsi kepemilikan SBN oleh investor domestik, semakin kecil risiko tekanan terhadap rupiah karena aliran modal asing keluar. "Sejak pandemi, share kepemilikan asing sebenarnya turun dari sekitar 37% dari total SUN yang dapat diperdagangkan pada awal tahun ke sekitar 27% saat ini semntara share perbankan naik," kata dia.
Sebelumnya, Japan Credit Rating Agency, Ltd. mempertahankan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia pada level BBB+ dengan outlook stabil. "Peringkat itu mencerminkan ekonomi yang didorong oleh permintaan domestik yang solid, potensi pertumbuhan yang baik, utang publik yang terkendali, dan ketahanan terhadap guncangan eksternal," tulis Kepala Manajer Departemen Pemeringkatan Internasional JCR Atsushi Masuda dalam keterangan resminya, Rabu (23/12).
Meski di tengah ekspansi fiskal di tengah pandemi, JCR memperkirakan rasio utang pemerintah terhadap PDB hanya akan naik ke level 40% selama beberapa tahun mendatang. Adapun pada tahun ini rasio utang dipatok 37,8% terhadap PDB.