Ledakan Kasus di Cina Berpotensi Melahirkan Varian Covid-19 Baru
Cina saat ini tengah menghadapi lonjakan kasus Covid-19. Bahkan, otoritas negara tersebut sampai menghentikan rilis data pasien harian bersamaan meledaknya penularan.
Ahli mengkhawatirkan lonjakan kasus bisa berdampak pada munculnya varian baru Covid-19. Apalagi, setiap infeksi yang terjadi adalah kesempatan virus corona untuk bermutasi.
"Cina juga memiliki populasi yang sangat besar dengan kekebalan terbatas," kata pakar penyakit menular di Universitas Johns Hopkins, Dr. Stuart Campbell Ray dikutip dari Associated Press, Senin (26/12).
Ledakan kasus muncul usai Cina meninggalkan kebijakan Nol Covid-19. Sementara, angka penduduk yang telah mendapatkan vaksin tambahan alias booster masih rendah.
Tak hanya itu, vaksin domestik ternyata kurang efektif melawan keparahan virus jika dibandingkan mRNA yang diproduksi negara-negara Barat. Belum lagi banyak penduduk yang kekebalannya bisa jadi berkurang karena sudah lebih dari satu tahun mendapatkan vaksin.
“Saat ada gelombang besar infeksi, sering kali diikuti dengan munculnya varian baru,” kata Ray.
Ray juga tidak mengetahui apakah varian baru ini akan menyebabkan gejala yang lebih parah. Apalagi, penularan selama 6 hingga 12 bulan ini terjadi karena akumulasi kekebalan baik dari vaksinasi maupun infeksi langsung.
"Bukan karena virusnya telah berubah," katanya.
Cina juga akan menyiapkan tiga rumah sakit di setiap provinsi untuk melacak pusat virus. Kepala Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Cina, Xu Wenbo mengatakan sampel virus dari pasien yang sakit dan meninggal akan dikumpulkan setiap pekan.
Xu juga menyiapkan basis data genetik nasional untuk memantau langsung mutasi Covid-19 dan dampaknya. Apalagi, ada 50 dari 130 jenis Omicron yang terdeteksi di Cina mengakibatkan kenaikan kasus.
Meski demikian, hingga saat ini belum ada informasi lebih dalam tentang pengurutan genetika virus dari Cina. Oleh sebab itu ahli memberikan peringatan kepada masyarakat dunia.
"Pandemi belum berakhir," kata virolog dari University of Massachusetts Medical School, Jeremy Luban.