Joko Widodo (Jokowi) kembali terpilih sebagai Presiden Indonesia untuk kedua kalinya. Dalam lima tahun pertama kepemimpinannya, Jokowi meninggalkan sejumlah pekerjaan rumah (PR) di sektor hulu minyak dan gas bumi (migas).
Salah satunya adalah produksi minyak siap jual atau lifting yang terus menurun. Target lifting minyak tahun depan hanya 734 ribu barel per hari (BOPD), lebih kecil dari proyeksi akhir 2019 sebesar 754 ribu BOPD dan target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 sebesar 775 ribu BOPD.
Selain itu, laju investasi migas masih cukup lambat. Realisasi investasi hulu migas kuartal pertama 2019 baru mencapai US$ 2,22 miliar atau sebesar 15 % dari target investasi tahun ini yang dipatok US$ 14,79 miliar.
Pelaku hulu migas pun berharap ada sejumlah perbaikan yang akan dilakukan Jokowi di periode kedua kepemimpinannya. Direktur Utama Pertamina EP (PEP) Nanang Abdul Manaf mengatakan, sebagai pelaku industri hulu migas di Indonesia, dia selalu berharap situasi politik, ekonomi, sosial, dan budaya semakin kondusif di era Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf 2019-2024. Dengan begitu, investor merasa aman menanamkan modalnya di Indonesia.
Dia juga berharap pemerintah pusat bisa memperbaiki koordinasi dengan pemerintah daerah, terutama dalam membangun infrastruktur pendukung kegiatan hulu migas. "Sehingga kami fokus terhadap peningkatan kinerja dalam bentuk peningkatan produksi dan cadangan migas serta biaya yang efektif dan efisien," ujar Nanang kepada Katadata.co.id, Senin (1/7).
Sebagaimana diketahui, angka produksi minyak Pertamina EP hingga Juni 2019 mencapai 85 ribu barel per hari (BOPD), sesuai target APBN 2019. Sedangkan produksi gas rata-rata sebesar 967 juta kaki kubik per hari (MMscfd).
(Baca: Pembahasan RUU Migas Tertunda, Iklim Investasi Bisa Makin Lesu)
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal Husin menilai, investor senang dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengakhiri proses pemilu yang panjang. Biarpun begitu, investor berharap ada perbaikan kebijakan dari kepemimpinan Jokowi, seperti kepastian hukum dan kebijakan fiskal.
"Yang mereka tunggu adalah suatu kepastian yang jelas akan berdampak positif atas iklim investasi secara general," ujar Moshe.
Seperti diketahui, dalam lima tahun terakhir, pemerintah belum juga menuntaskan revisi Rancangan Undang-Undang (RUU) Migas yang baru. Hingga kini pemerintah belum menyelesaikan Daftar Isian Masalah (DIM) RUU Migas. Padahal Komisi VII DPR RI telah menyerahkan draft rancangan UU Migas tersebut.
Moshe juga menyoroti masalah kebijakan lintas sektoral yang sering berubah-ubah. Menurutnya, kebijakan hulu migas dibuat hanya untuk kepentingan beberapa proyek saja. "Kebijakan harus bersifat jangka panjang, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan satu proyek atau dua proyek sehingga tidak selalu berubah-ubah," kata Moshe.
(Baca: Menimbang Arahan Jokowi dalam Konsepsi Kelembagaan Hulu Migas)