Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat terdapat puluhan perusahaan mineral dan batu bara (minerba) yang belum melaporkan data perusahaan. Perusahaan minerba dan minyak dan gas bumi (migas) memiliki kewajiban memberikan laporan transparansi. Kedua sektor selama ini menyumbang 90-95% terhadap penerimaan negara.
Kewajiban transparansi karena Indonesia merupakan salah satu anggota Extractive Industries Transparency Initiative (EITI). EITI merupakan standar global bagi transparasi di sektor ekstraktif untuk tata kelola sumber daya migas dan minerba. Indonesia pun menjadi negara pertama dari 51 anggota EITI. Data yang harus dilaporkan seperti data penerimaan negara, dan mengenai kepemilikan atau beneficial ownership (BO).
ESDM mencatat terdapat 112 perusahaan minerba yang wajib melaporkan data. Dari jumlah tersebut, hanya 80 perusahaan yang sudah memenuhi kewajibannya melaporkan data. Artinya terdapat 32 perusahaan yang belum melakukan transparansi. Sementara itu, 70 dari 71 perusahaan di sektor migas yang sudah mengikuti aturan transparansi.
“Kami seringkali mendapati alamat perusahaan sudah pindah atau tutup," kata Ketua Tim Pelaksana Transparansi Industri Ekstraktif Montty Girianna, di Jakarta, Kamis (14/3).
(Baca: KPK Dorong Pemerintah Perbaiki Tata Niaga Minerba)
ESDM juga mencatat sekitar 6.125 perusahaan minerba berstatus Clear and Clean (CnC) dan 2.155 non-CnC per Februari 2018. Status CnC diberikan kepada perusahaan yang Izin Usaha Pertambangan (IUP) tidak menyalahi aturan.
Perusahaan dengan status ini wilayah izin usaha pertambangannya tidak tumpang tindih dengan perusahaan atau IUP lain dan kawasan konservasi alam. Nah, perusahaan di sektor ini menyumbang sekitar 10% terhadap penerimaan negara.
(Baca: Serapan Batu Bara Dalam Negeri pada Tahun Lalu Tak Capai Target)
Montty yang juga menjabat sebagai Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Energi, Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Kementerian Koordinator Ekonomi menyampaikan, tujuan dari EITI adalah mengurangi ketimpangan pendapatan dan kemiskinan. Oleh karena itu, menurutnya perlu ada pembaruan data. Salah satu caranya, Kementerian ESDM berkoordinasi dengan institusi terkait.
Perbedaan Data Penerimaan Negara
Pelaporan data ini menjadi penting, sebab pemerintah belum memiliki informasi pasti terkait sektor ini. Laporan rekonsiliasi EITI menyebutkan, data royalti dari perusahaan minerba mencapai US$ 742 ribu pada 2016. Bila dibandingkan dengan data Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM, ada perbedaan sebesar 0,13% dari hasil rekonsiliasi EITI.
Lalu, ada perbedaan data antara perusahaan tambang dengan Ditjen Minerba Kementerian ESDM terkait Pendapatan Hasil Tambang (PHT) sebesar 0,06%. Berdasarkan catatan perusahaan, PHT mencapai US$ 684 ribu. Sedangkan Ditjen Minerba mencatat, PHT sebesar US$ 684 ribu pada 2016.
Tak hanya itu, data iuran tetap di sektor minerba pun berbeda antara perusahaan dengan pemerintah. Catatan perusahaan, iuran tetap yang disetor mencapai US$ 7.429. Padahal, Ditjen Minerba mencatat besarannya mencapai US$ 7.482. Artinya, ada perbedaan data sebesar 0,071%.
(Baca: Indonesia jadi Negara Pertama Publikasikan Laporan Transparansi Migas)
Hal serupa terjadi di sektor migas. Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mencatat, Pajak Penghasilan (PPh) yang disetor sebesar US$ 1,77 juta. Sementara Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat, PPh yang disetor hanya US$ 1,73 juta. Lagi-lagi, ada perbedaan data hingga 2,38%.
Kemudian, data Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di sektor migas juga berbeda. KKKS mencatat, PBB yang disetor sebesar US$ 1,4 juta. Sedangkan pemerintah mencatat, besaran PBB yang disalurkan dari sektor ini hanya US$ 212 ribu. Alhasil, perbedaan data antara keduanya mencapai 564%.
Berkaca dari perbedaan data ini, Montty berharap semua perusahaan di sektor migas maupun minerba melaporkan datanya pada 2020. Dengan begitu, ia berharap tidak ada lagi perbedaan data. Apalagi, data yang akurat diperlukan guna menetapkan kebijakan yang tepat pula.