Sebagai catatan, PLN sudah menderita kerugian pada semester I/2018 sebesar Rp 6,49 triliun. Padahal pada periode yang sama 2017, PLN masih mencatat laba bersih Rp 510,17 miliar.

Menurut Fahmy, kalau penjualan 25 % kepada PLN atau sebesar 106 juta metric ton dijual dengan harga pasar, tambahan pendapatan pengusaha batu bara naik menjadi sebesar US$ 11,12 miliar (106 juta metric ton x US$ 104,65). Tetapi kalau menggunakan harga DMO US$ 70 per metric ton, pendapatan penguasaha turun menjadi US$ 7,44 miliar (106 juta x US$ 70).

Selisih perbedaan harga tersebut sebesar US$ 3,68 miliar (US$ 11,12-US$ 7,44). Sementara itu, menurut Bank Indonesia, defisit neraca pembayaran selama 2018 diperkirakan sebesar US$ 25 miliar. “Selisih harga itu tidak signifikan,” ujar dia.

Di sisi lain, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan PLN tidak merugi dengan kebijakan pencabutan formula harga khusus tersebut. Hal ini berdasarkan hitung-hitungan yang telah dilakukanya terkait imbas kebijakan terhadap keuangan PLN.

Menurut Luhut, kebijakan tersebut malah akan memperkuat PLN. "Enggak ada (rugi), kami sudah hitung keuangan PLN.  Kami tidak ingin PLN keuangannya goyang," ujar dia di Jakarta, Senin (30/7).

(Baca: Sri Mulyani Surati Jonan dan Rini Soal Risiko Gagal Bayar Utang PLN)

Sementara itu,  menurut Ekonom Universitas Indonesia Faisal Basri, yang perlu menjadi fokus pemerintah saat ini seharusnya mengurangi produksi batu bara, bukan meningkatkan demi ekspor. Ini untuk menjaga faktor lingkungan. “Pemerintah juga sudah janji mengurangi gas emisi,” kata dia.

Halaman: