Haryadi mengatakan, sektor migas pada 2012 menyumbang pendapatan negara sebesar Rp 300 triliun. Angka itu terus menurun dan pada tahun lalu hanya mencapai Rp 84 triliun. (Baca: Penerimaan Migas Merosot Tajam)

Sebagai solusi untuk dapat menggairahkan investasi migas tanah air, Haryadi mengatakan pemerintah perlu meniru Meksiko yang memberikan fleksibilitas terhadap kontrak kerjasama migas. "Jadi kalau menteri mengatakan kondisi ini investasi sangat rendah karena dampak dari harga minyak, saya kira ini tidak betul. Ini karena di bagian dunia lain mereka bisa perbaiki investasi," kata dia. 

Hal lain yang dikritisi adalah gross split. Menurut Haryadi, sistem kontrak kerjasama tersebut belum menawarkan tingkat pengembalian investasi (IRR) yang cukup besar bagi kontraktor. Dampaknya pun kepada industri turunan.

Senada dengan Haryadi, IPA Board of Director Daniel L. Wieczynski mengatakan harga minyak dunia yang berfluktuasi bukan alasan utama yang membuat perusahaan migas tak tertarik berinvestasi di Indonesia. Hal ini berdasarkan bisnis perusahannya yakni Exxon di negara lain.

(Baca: Pertamina Impor Gas dari Exxon untuk Tutupi Defisit pada 2020)

Menurut Daniel, perusahaannya di Asia Pasifik masih melakukan investasi meskipun harga minyak belum membaik yakni investasi di Malaysia, Vietnam, dan Papua Nugini.  Jadi, pemerintah di Indonesia harus melakukan perubahan. "Kalau melihat data di ASEAN, Indonesia salah satu negara yang tidak menarik," kata dia. 

Halaman: