Sri Mulyani Pantau Risiko Buntunya Negosiasi dengan Freeport

Arief Kamaludin|KATADATA
2/3/2017, 23.48 WIB

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati masih memantau perkembangan proses negosiasi pemerintah dengan PT Freeport Indonesia, terkait perubahan status kontrak dan kelangsungan usahanya. Proses negosiasi tersebut dilakukan melalui Menteri energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan.

Karena itu, dia enggan membahas risiko buntunya proses negosiasi tersebut, termasuk mengalokasikan cadangan dana untuk menangani berbagai dampaknya. Setelah mengetahui perkembangannya, barulah Sri Mulyani akan membahas rencana-rencana penangannya. “Nanti saya lihat dulu bersama Menteri ESDM mengenai progress dari negosiasi,” ujar dia di kantornya, Jakarta, Kamis (2/3). 

Seperti diketahui, saat ini, pemerintah melalui Kementerian ESDM tengah bernegosiasi dengan Freeport. Negosiasi dilakukan lantaran Freeport tidak mau menerima kebijakan pemerintah, yakni Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. (Baca juga: Ungkap Pelanggaran Freeport, Peradi Dukung Pemerintah ke Arbitrase)

Peraturan anyar itu memberikan kesempatan kepada perusahaan tambang untuk tetap mengekspor mineral mentah (konsentrat) meski belum melakukan pemurnian di dalam negeri dengan membangun smelter. Namun, syaratnya perusahaan itu harus mengubah kontraknya yang berstatus Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Freeport keberatan dengan skema baru IUPK tersebut. Bahkan, Freeport menganggap Pemerintah Indonesia telah melanggar kontrak. Alasannya, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara menyatakan Kontrak Karya tetap sah berlaku hingga sama kontraknya berakhir. (Baca juga: Masyarakat Adat Papua Inginkan 10-20 Persen Saham Freeport)

President dan CEO Freeport McMoRan Inc. Richard C. Adkerson menilai Pemerintah Indonesia telah membuat keputusan sepihak. Karena itu, Freeport memberikan tenggang waktu negosiasi selama 120 hari dengan Pemerintah Indonesia. Bila tidak tercapai kata sepakat, maka Freeport akan menggunakan haknya untuk mengajukan sengketa tersebut ke arbitrase internasional.

(Baca juga: Negosiasi Freeport Alot, Pemerintah Kaji Pemberian Insentif)

Di sisi lain, Menteri Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menekankan pemerintah siap menghadapi Freeport di pengadilan arbitrase internasional. Bila menang, pemerintah akan mengambil alih tambang emas dan tembaga kelolaan Freeport di Grasberg, Papua.

Luhut mengatakan pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bisa menunjuk perusahaan tambang pelat merah seperti PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) alias Inalum untuk mengelola tambang tersebut.

"Kan pemerintah bisa ada Inalum, tergantung Menteri BUMN (Rini Soemarno) lah. Tapi sudah di-exercise," kata dia, beberapa waktu lalu. (Baca juga: Luhut Mengusung Inalum untuk Ambil Alih Tambang Freeport)

Sekadar informasi, dampak sengketa antara pemerintah dengan Freeport mulai dirasakan, setidaknya oleh karyawan. Sejauh ini, Freeport telah merumahkan 1.000 dari total 32.000 pekerjanya karena berhentinya aktivitas pertambangan.

Di sisi lain, dari sisi penerimaan negara, Direktur Bea dan Cukai Kementerian Keuangan, Heru Pambudi menghitung, potensi kerugian negara akibat terhentinya ekspor mineral mentah oleh Freeport berkisar Rp 100 miliar per bulan. (Baca juga: Freeport Setop Ekspor, Potensi Rugi Negara Rp 100 Miliar Sebulan)

Di luar itu, risiko lain yang kemungkinan jadi perhatikan pemerintah adalah kelanjutan dana rutin yang dialokasikan Freeport untuk suku Amungme dan Komoro yang tinggal di sekitar lokasi tambang.