Pemerintah optimistis menang jika PT Freeport Indonesia membawa kasus perselisihan perubahan status kontraknya ke arbitrase internasional. Meski begitu, pemerintah dinilai juga terancam kalah karena telah melakukan beberapa pelanggaran kontrak dengan perusahaan tambang asal Amerika Serikat (AS) tersebut.

Pengamat pertambangan dari Universitas Tarumanagara Ahmad Redi menyatakan, salah satu pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah adalah memutuskan sepihak perubahan  Kontrak Karya (KK) Freeport menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Padahal, dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP), ada tiga syarat pengakhiran KK.

(Baca: Mulai Proses Arbitrase, Bos Freeport: Pemerintah Langgar Kontrak)

Pertama, kedua belah pihak harus bersepakat mengakhiri. Kedua, kontrak dibatalkan lewat jalur pengadilan. Ketiga, masa kontraknya telah berakhir. "Jadi peluang (menang) fifty-fifty," kata dia di Jakarta, Selasa (21/2).

Selain itu, Ahmad menilai, prosedur perubahan KK menjadi IUPK dalam Peraturan Menteri Nomor 5 tahun 2017 tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba). UU itu mengatur, pemegang KK yang ingin mengubah menjadi IUPK mengajukan ke menteri dan diproses selama 14 hari.

Untuk mengubah kontrak menjadi IUPK, pemegang KK harus melewati prosedur seperti Penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) dan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR.

Setelah itu, penetapan menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) ditawarkan lebih dulu kepada BUMN. Jika tidak berminat maka dilelang kepada pihak swasta untuk selanjutnya diterbitkan IUPK. (Baca: Tekan Freeport, Pemerintah Bisa Gunakan Isu Pencemaran Lingkungan)

Halaman: