Perusahaan setrum negara alias PLN sedang meminta relaksasi pajak pertambahan nilai atau PPN untuk batu bara ke Kementerian Keuangan. Alasannya, Undang-Undang Cipta Kerja memasukkan komoditas tambang itu sebagai barang kena pajak. Selaku pembeli, PLN terpaksa menanggung pajak tersebut sebesar 10%.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sujatmiko mengatakan aturan itu menambah beban perusahaan. “PLN sedang meminta persetujuan Kementerian Keuangan untuk antisipasi konsekuensi PPN 10%,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (10/12).
DPR pun mengkritik kebijakan baru dalam undang-undang saput jagat alias omnibus law tersebut. Wakil Ketua Komisi VII DPR Ramson Siagian berpendapat aturan itu hanya menguntungkan Tiongkok sebagai pasar ekspor batu bara terbesar Indonesia.
Pasalnya, PPN hanya berlaku untuk pasar domestik. “Nanti PLN bisa bangkrut. Pembangkit listriknya 62% energi primer dari batu bara. Bagaimana nanti harga listriknya,” ujar Ramson.
Hingga Juni 2020, kapasitas pembangkit di Indonesia mencapai 70.964 megawatt (MW). Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang berbahan bakar batu bara mendominasi angka itu. Pada Juni 2020, pembangkit tersebut telah menghasilkan 35.220 MW atau 50% dari total kapasitas nasional.
Ramson mengatakan jangan sampai batu bara dalam negeri terkuras untuk konsumsi Negeri Panda. Apalagi, di sana teknologi dan kemampuan pengembangan batu baranya sudah maju, khususnya di hilirisasi.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan ekspor batu bara tidak kena PPN tapi royalti.“Royaltinya lebih tinggi 10% dibandingkan dalam negeri,” katanya.
Batu Bara Kena PPN dalam UU Cipta Kerja
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menyebut hasil tambang batu bara kini menjadi subjek pajak pertambahan nilai atau PPN. “Dalam UU Cipta Kerja ditegaskan mengenai batu bara sebagai barang kena pajak,” katanya.
Pemerintah mengubah Pasal 4A Ayat 2 UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009 disebutkan jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan rakyat, serta makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya.
Namun, pemerintah melalui omnibus law menggantinya menjadi jenis barang yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai adalah barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk hasil pertambangan batu bara.
Di poin tersebut pemerintah memastikan bahwa batu bara masuk menjadi barang yang akan dikenakan PPN. Sementara, poin lainnya masih sama seperti dalam UU Nomor 42 Tahun 2009.