- Satu surveyor kinerjanya dalam sorotan karena dianggap merugikan penambang nikel.
- Kementerian ESDM perlu melakukan evaluasi terhadap surveyor yang telah ditunjuk.
- Masih ada 8 perusahaan yang tak patuh harga patokan mineral nikel.
Kisruh antara penambang dengan pemilik pabrik pemurnian (smelter) soal harga patokan mineral alias HPM nikel belum tuntas. Kini, penambang menemui persoalan baru terkait kinerja penyurvei atau surveyor.
Para penambang berpendapat ada perbedaaan hasil analisis antara pelabuhan muat dan bongkar. Akibatnya, penambang mengalami kerugian.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APBNI) Meidy Katrin Lengkey mengatakan transaksi pembelian bijih nikel oleh smelter telah mengacu pada HPM. Namun, verifikasi kualitas bijih nikelnya bermasalah.
Hal ini terjadi setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menunjuk PT Anindya Wiraputra Konsult menggantikan surveyor yang belum terdaftar di kementerian. Kapasitas perusahaan ini, menurut Meidy, masih belum memenuhi standar pengujian.
Hal ini pun dikeluhkan oleh para pemasok atau penambang nikel. Waktu dan hasil pengujian Anindya menuai protes. “Ada aduan, saksi dari pihak pembeli tidak dilibatkan dalam proses pengambilan sampel,” katanya kepada Katadata.co.id, Jumat (18/12).
Sebagai informasi, saat ini ada empat surveyor yang direkomendasikan Kementerian ESDM untuk transaksi jual-beli nikel. Selain Anindya, ada pula PT Superintending Company of Indonesia (Persero) alias Sucofindo, PT Carsurin, dan PT Geoservices.
Selain masalah surveyor, penambang pun menemukan perbedaan biaya transportasi. Pemilik smelter hanya mengakomodasi biaya itu antara US$ 2 hingga US$ 3 metrik ton.
Akibatnya, penambang di Maluku, Maluku Utara, Papua, Kolaka Utara (Sulawesi Tenggara), dan Malili (Sulawesi Selatan) harus mensubsidi biaya tongkang US$ 5 sampai US$ 8 metrik ton.
APNI pun telah mengirimkan surat aduan kepada pemerintah mengenai kondisi tersebut. Khususnya perihal permohonan pembatasan jual beli-bijih nikel dan pengawasan surveyor.
Ketua Pelaksana Tim Kerja Pengawasan Pelaksanaan Harga Patokan Mineral Nikel Septian Hario Seto mengatakan telah menerima laporan komplain terhadap pihak surveyor. Ia pun telah memanggil seluruh pensurvei untuk meminta penjelasan dan menegaskan kembali aturan yang ada di Peraturan Menteri ESDM.
Dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 sebenarnya sudah tertulis soal perbedaan hasil verifikasi surveyor dengan penambang. Apabila hal ini terjadi, maka penentuan kualitas mineral logam harus mengacu hasil pengujian pihak ketiga yang disepakati bersama sebagai wasit atau umpire.
Satgas HPM Nikel masih melakukan pengawasan dan pemantauan terkait masalah ini. “Senin nanti kami rapat lagi,” ujar Seto.
Perlu Sanksi Tegas Bagi Surveyor Tak Andal
Pemerintah perlu memberi sanksi berat kepada surveyor yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik. “Karena ini tidak cuma merugikan penambang tapi juga masalah kepercayaan publik dan internasional,” kata Direktur Center for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus) Budi Santoso.
Selama ini, masalah integritas pensurvei kerap terjadi, tak hanya di pertambangan nikel. Solusi perbedaan hasil survei sebenarnya sederhana. Kedua pihak dapat menunjuk surveyor independen yang berbeda dan tidak terafiliasi untuk mengecek sampel nikel.
Pengambilan sampel, Budi mengatakan, selalu terbagi menjadi empat bagian. Satu sampel untuk verifikasi pensurvei independen. Dua sampel lainnya masing-masing untuk pihak penjual dan pembali. Dan sampel terakhir akan disimpan sebagai arsip.
Hasil analisis surveyor independen adalah final. “Kalau ada dispute beberapa kali oleh pensurvei yang sama, maka harus diberi sanksi tegas,” ujar Budi.
Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan kondisi ada surveyor yang tidak bekerja maksimal tidak dapat dipungkiri. Kadang, menurut dia, hasil analisisnya sesuai titipan pihak-pihak berkepentingan. Jadi, profesionalisme mereka banyak yang meragukan.
Sebagai pembanding, para pengusaha sebaiknya menyediakan surveyor lain di luar daftar pemerintah. “Sehingga bisa saling mengoreksi satu sama lain,” katanya.
Dari sisi pemerintah, perlu adanya evaluasi surveyor yang telah ditunjuk. “Pembentukan Satgas HPM Nikel semoga bukan hanya formalitas saja. Saya kira perlu evaluasi semuanya,” katanya.
Ketua Umum Indonesian Mining Energy Forum (IMEF) Singgih Widagdo menyebut perbedaan analisis di pelabuhan muat dan bongkar seharusnya tidak menjadi masalah antara penambang dan pembeli. “Dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 telah dipertegas kalau ada perselisihan maka sampelnya dapat diuji di surveyor independen yang disepakati para pihak,” katanya.
Sampel itu pun akan tersimpan dalam waktu tertentu untuk mengantisipasi dispute di kemudian hari. Dengan dasar ini maka harus ada perbaikan dalam proses analisisnya. Para pihak yang berkepentingan seharusnya dapat menyaksikan langsung pengambilan sampel sampai analisis laboratorium.
Berikutnya, persoalan hasil laboratorium harus sama persis di titik muat dan bongkar justru tidak masuk akal. Dalam proses pengangkutan, barang tambang kerap berubah kualitas dan kuantitasnya, terutama karena faktor cuaca.
Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral Kementerian ESDM Yunus Saefulhak mengatakan pihaknya telah meminta Anindya untuk menganalisis kualitas dan kuantitas nikel dengan cara yang benar.
Apabila tetap ada perbedaan, maka kedua pihak dapat menunjuk umpire yang terdaftar di Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM. “Saya kira ini bagian yang harus kami awasi, terkait perbedaan antara muat dan bongkar," ujarnya.
Ada 8 Perusahaan Tak Patuhi Harga Patokan Nikel
Kementerian ESDM mencatat ada delapan perusahaan yang tidak menerapkan HPM jual-beli bijih nikel. Pemerintah akan menegur penambang dan pemilik pabrik pemurnian (smelter) tersebut. Bahkan sanksi pencabutan menanti kalau aturan itu tak kunjung mereka laksanakan.
Yunus mengatakan, sebanyak 73 perusahaan telah menerima surat teguran dari pemerintah beberapa waktu lalu. Ada 65 perusahaan yang langsung melaksanakan HPM.
Pelaksanaan harga patokan itu bertujuan untuk memberikan keadilan bagi pengusaha tambang dan pemilik smelter. “Ada beberapa smelter yang sudah terlalu lama menikmati harga nikel murah,” ucap Yunus.
Harga nikel formula pemerintah cenderung lebih murah dibandingkan untuk ekspor. Tujuannya, agar pabrik pemurnian domestik dapat memperoleh bahan baku dengan harga kompetitif.
Selain itu, risiko dan biaya investasi smelter jauh lebih besar dibandingkan dengam perusahaan pertambangan nikel. Kondisi ini pula yang membuat pemerintah memberikan insentif, berupa penetapan harga HPM yang relatif lebih kecil dibandingkan pasar internasional.
Aturan HPM nikel telah berlaku sejak Juli 2020. Melansir dari situs Kementerian ESDM, formulanya berdasarkan nilai atau kadar logam, konstanta faktor, harga mineral acuan (HMA), biaya perawatan dan pemurnian (TC/RC) dan logam yang harus dibayar.
Dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020 ada sembilan substansi pokok HPM tersebut. Pertama, penetapannya berdasarkan pasar internasional, peningkatan nilai tambah, dan pelaksanaan kaidah pertambangan yang baik.
Kedua, HPM bijih nikel ditetapkan sebagai harga batas bawah. Transaksi dapat dilakukan di bawah harga, dengan selisih tidak lebih dari 3%. Ketiga, pembelian bijih nikel harus mengacu pada harga patokannya.
Keempat, penambahan Publikasi harga timah mengacu pada bursa berjangka Jakarta Future Exchange, dari sebelumnya hanya Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia. Kelima, formula harga patokan ditetapkan per bulan melalui Keputusan Menteri ESDM.
Keenam, verifikasi kualitas dan kuantitasnya wajib dilakukan surveyor pelaksanan, yang kemudian menerbitkan laporan hasil verifikasi atau LHV. Ketujuh, yang menunjuk surveyor adalah Dirjen Minerba.
Kedelapan, penjaulan dalam negeri wajib menunjuk surveyor sebagai wasit atau umpire apabila terjadi perbedaan hasil analisis antara kualitas mineral penjual dan pembeli. Terakhir, ketentuan formula harga patokan yang diatur dalam Permen ESDM dapat ditinjau setiap enam bulan.