Impor Solar Industri Melonjak di Tengah Berlebihnya Produksi Pertamina

Arief Kamaludin | Katadata
Ilustrasi.
22/4/2021, 18.10 WIB

Melonjaknya impor solar HSD (high speed diesel) atau solar industri pada Maret 2021 dibandingkan Februari 2021 cukup mengherankan. Pasalnya, kondisi tersebut terjadi di saat Pertamina mengalami kelebihan produksi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, impor solar naik dari 214.168 ton pada Februari menjadi 346.947 ton bulan lalu. Impor solar HSD naik hingga 83,82% dari 154,28 ribu ton menjadi 283,59 ribu ton.

Corporate Secretary Sub holding Refining & Petrochemical (PT Kilang Pertamina International) Ifki Sukarya mengatakan bahan bakar jenis HSD malah saat ini dalam kondisi surplus. "HSD justru berlebih. Kami mengurangi produksi karena lemahnya demand," kata Ifki kepada Katadata.co.id, Kamis (22/4).

Meski demikian Ifki tak mau membeberkan secara rinci mengenai data realisasi produksi solar yang berlebih saat ini. Namun jika mengacu tahun lalu, perusahaan migas pelat merah ini bahkan sampai mengekspor solar HSD ke Singapura karena kelebihan produksi.

Mantan Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Ignatius Tallulembang beralasan kebijakan tersebut diambil lantaran kondisinya sangat mendesak. Stok penyimpanan bahan bakar minyak atau BBM perusahaan sudah melampaui batas.

Ekspor terpaksa dilakukan untuk menghindari pemberhentian operasi kilang. "Itu yang menjadi alasan kenapa harus menjual produk solar ini ke luar negeri dan tentu harga jualnya sesuai harga pasar," kata dia.

Selama pandemi Covid-19, kapasitas penyimpanan kilang Pertamina sudah mencapai batas minimum (turn down ratio) 75% karena rendahnya penyerapan domestik. Namun, Pertamina masih tetap harus memproduksikan HSD. Realisasi penjualan HSD ke luar negerinya ditetapkan hanya satu kargo.

Sementara, saat dikonfirmasi mengenai hal tersebut Direktur Pembinaan Usaha Hilir Migas Kementerian ESDM Soerjaningsih tidak berbicara banyak. Hanya, dia mengatakan jika dibandingkan dengan Januari-Maret 2020 maka impor Januari-Maret 2021 lebih rendah.

Bahkan dia menyangkal mengenai kelebihan produksi solar jenis HSD Pertamina. "Nggak lebih. Nggak ada ekspor," katanya.

Defisit Migas Terancam Membesar

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai jika situasinya seperti ini. Maka akan membahayakan neraca dagang Indonesia. "Ujungnya akan berdampak ke neraca dagang khususnya pelebaran defisit migas," ujarnya.

Apalagi per Januari sampai Maret 2021 saja defisit migas telah mencapai US$ 2,48 miliar. Efeknya pun bisa ke pelemahan kurs rupiah karena kebutuhan impor migas menyedot valas.

Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai kondisi tersebut akan semakin membuat jomplang neraca dagang RI. Padahal Presiden Joko Widodo berupaya menekan impor, terutama impor migas.

Oleh sebab itu, ia menyarankan supaya BPH Migas sebagai badan yang mengawasi kegiatan hilir migas harus lebih aktif lagi dalam melakukan pengawasan. Bahkan ia merekomendasikan jika Izin Niasa Usaha yang nakal harus dicabut izinnya. "Jika perlu dilaporkan ke polisi," katanya.

Apalagi akhir-akhir ini ditemukan banyak solar jenis HSD dijual murah di marketplace. "Untuk yang ada di marketplace juga harus di diawasi dan periksa izin-izinnya mereka. Jika tidak ada maka harus ditertibkan," ujarnya.

Sebelumnya, dari penelusuran Katadata.co.id, diketahui solar untuk industri ditemukan dijual dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan harga resmi yang ditetapkan Pertamina. Di marketplace Tokopedia, misalnya, ada yang menjual solar dengan harga Rp 6.650 per liter.

Padahal, jika mengacu harga jual yang dirilis Pertamina untuk di 34 provinsi di Indonesia pada April ini, harga solar nonsubsidi paling murah yaitu Rp 9.500 per liter.

Direktur Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Patuan Alfon S. sebelumnya mengatakan pihaknya telah melakukan pengawasan, khususnya terhadap badan usaha yang memiliki izin resmi. "BPH Migas melakukan pengawasan atas BU yang berniaga yang memiliki izin dari Kementerian ESDM," ujarnya.

Reporter: Verda Nano Setiawan