Kementerian ESDM menjelaskan wacana pembatasan pembangunan smelter nikel baru setelah 2024 untuk memastikan keberlanjutan cadangan. Terutama untuk smelter nikel kelas dua yang menghasilkan feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).
Direktur Mineral Kementerian ESDM Sugeng Mujiyanto mengatakan tengah menyusun perhitungan sumber daya dalam industri nikel dari hulu hingga hilir. Hal ini guna memastikan ketersediaan pasokan dan cadangan yang ada dari hulu.
"Agar berkelanjutan. Pengolahan di dalam negeri dimaksimalkan agar impor seminimal mungkin," kata Sugeng kepada Katadata.co.id, Selasa (29/6).
Adapun berdasarkan data Kementerian ESDM, hingga 2024 sebanyak 53 smelter akan beroperasi, dengan 30 diantaranya merupakan smelter nikel. Rinciannya yaitu 13 smelter nikel yang sudah terbangun dan 17 lainnya masih dalam rencana.
Ketua Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia Rizal Kasli menjelaskan bahwa nikel Indonesia berjenis laterit yang sebagian besar terdapat di Pulau Sulawesi dan Maluku Utara. Badan Geologi Kementerian ESDM melaporkan, sumber daya nikel mencapai 11,55 miliar ton, cadangan terbukti 1,08 miliar ton, dan cadangan terkira 3,5 miliar ton.
Nikel laterit terdapat dua jenis, yakni kadar rendah yang disebut limonit, dan kadar tinggi yang disebut saprolit. Merujuk data di Kementerian ESDM, nikel saprolit yang didefinisikan sebagai bijih nikel berkadar di atas 1.7% Ni, jumlah cadangan terbuktinya sebesar 772 juta ton.
Bijih nikel tipe saprolit ini, di Indonesia umumnya diolah dengan teknologi pyrometallurgy atau peleburan, yang sebagian besar produk akhirnya berupa Ferronickel (Feni) dan Nickel Pig Iron (NPI) yang merupakan nikel kelas 2.
"Nah, mengutip data dari Kementerian Perindustrian, saat ini di Indonesia telah beroperasi lebih dari 21 pabrik pengolahan nikel dengan teknologi pirometalurgi yang menghasilkan nikel kelas 2," ujarnya.
Pabrik pengolahan tersebut membutuhkan input bijih nikel saprolit 95,5 juta ton per tahun. Artinya, jika jumlah cadangan nikel saprolit tidak bertambah, maka pabrik pengolahan tersebut akan berhenti beroperasi dalam delapan tahun karena kehabisan bahan baku.
Namun, cadangan terkiranya sebesar 1,57 miliar ton dapat dikonversi menjadi cadangan terbukti. Salah satunya dengan melakukan eksplorasi lanjutan, sehingga dengan memperhitungkan faktor modifikasi sesuai Kode KCMI 2017 dapat menambah neraca cadangan terbukti dan dapat menambah umur pabrik smelter pirometalurgi.
"Itu hitungan secara umum. Namun, secara individu perusahaan tentu saja ketahanan cadangan nikel orenya akan berbeda-beda," katanya. Seperti Vale, Antam dan Weda Bay mempunyai hitungan secara detail masing-masing. Sehingga dapat menjamin pasokan bijih nikelnya untuk jangka waktu yang lama.
Sebaliknya, nikel tipe limonit yang didefinisikan sebagai nikel kadar rendah dengan kadar di bawah 1,7% Ni, potensinya belum digarap dan dimanfaatkan secara optimal. Nikel tipe limonit ini adalah nikel yang umumnya diolah dengan teknologi hydrometallurgy.
Salah satunya dengan teknologi high pressure acid leaching (HPAL). Hasil pengolahan nikel limonit, dapat menghasilkan produk turunan berupa nikel sulfat dan cobalt sulfat, yang merupakan nikel kelas satu.
Di samping itu, teknologi smelter saat ini juga sudah berkembang, sehingga dapat mengolah bijih nikel dengan kadar yang lebih rendah. Misalnya untuk jenis pirometalurgi dapat menggunakan bijih dengan kadar Ni lebih dari 1,5% dan di bawah 1,5% bisa diolah dengan nikel kadar kurang dari 1,5%.
Sehingga cadangan terbukti untuk Ni lebih dari 1,5% diperkirakan sekitar 1,18 miliar ton (wmt) dan cadangan terkiranya 1,57 miliar ton (wmt). Hal ini otomatis akan memperpanjang usia smelter pengolahannya.
Berdasarkan data Kementerian ESDM, saat ini baru ada satu pabrik HPAL yang beroperasi di Halmahera Selatan, sementara lainnya masih dalam tahap konstruksi. Jika pabrik HPAL tersebut keseluruhannya beroperasi, maka input bahan baku bijih nikel limonit yang dibutuhkan adalah sebesar 42,2 juta ton pertahun.
Artinya, umur pengolahan nikel limonit di Indonesia bisa mencapai 43 tahun. Menurut Rizal rencana pemerintah membatasi pembangunan smelter yang mengolah nikel saprolit penghasil nikel kelas dua ini, semata-mata untuk memastikan keberlanjutan pasokan bijih nikel bagi pabrik smelter yang telah beroperasi di Indonesia.
"Pemerintah juga hendak memastikan, jangan sampai terjadi kelebihan pasokan produk nikel kelas dua yang akan berdampak pada penurunan harga nikel di pasar dunia," katanya.
Di satu sisi, jumlah cadangan nikel saprolit yang tersisa yakni delapan hingga 10 tahun. Hal ini semestinya memacu pemerintah untuk menggalakkan kegiatan eksplorasi di sejumlah wilayah prospek agar dapat menemukan dan menambah cadangan baru.
Pemerintah dapat melakukan berbagai opsi. Seperti menugaskan lembaga pemerintah yang menangani kegiatan eksplorasi, meminta perusahaan pemegang izin usaha pertambangan untuk mengalokasikan dana bagi kegiatan eksplorasi lanjutan di wilayah-wilayah yang belum terjamah.
Berikutnya pembatasan pembangunan pabrik pengolahan yang menghasilkan nikel kelas dua. "Sekaligus harus dimanfaatkan memberikan peluang bagi investor untuk membangun dan mengembangkan pabrik pengolahan nikel berbahan baku limonit," ujarnya.
Selain karena cadangan dan umur tambangnya yang masih besar, produk akhir dari pengolahan bijih limonit yang menghasilkan nikel kelas satu, sangat dibutuhkan. Terutama untuk pengembangan industri hilir berskala vital dan strategis, salah satunya industri baterai mobil listrik.
"Sudah saatnya pemerintah fokus pada industri lanjutannya. Setelah beberapa tahun terakhir smelter berdiri dan baru-baru ini telah berproduksi refinery nikel, maka tugas berikutnya adalah membuat industri lanjutannya," kata dia.
Terutama industri manufaktur berbasis logam dan nikel. Banyak industri turunannya yang belum ada di Indonesia. Sehingga pengguna akhir dari produk nikel ini masih harus melakukan impor dari negara lain hanya untuk memenuhi kebutuhan bahan bakunya.
"Sehingga jualannya tidak lagi smelter, tapi pabrik refinery dan industri logam serta baterai. Kita juga bisa memproduksi barang jadi, bukan setengah jadi," katanya.
Untuk itu, pemerintah perlu untuk memberikan kemudahan, kepastian berusaha dan jaminan keamanan bagi pelaku usaha yang ingin mengembangkan pabrik hidrometalurgi. Selain itu juga bisa dengan insentif fiskal dan nonfiskal, agar pemanfaatan nikel limonit dapat optimal, serta nilai tambahnya bagi negara dan masyarakat lebih besar.