Antisipasi Krisis Energi, Pemerintah Perlu Perketat DMO Batu Bara

ANTARA FOTO/Makna Zaezar/wsj.
Kapal tongkang pengangkut batu bara melintas di Sungai Barito, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan, Sabtu (13/6/2020).
14/10/2021, 15.59 WIB

Krisis energi yang melanda beberapa negara di dunia saat ini tengah menjadi isu utama global. Ini seiring dengan meningkatnya permintaan batu bara untuk kebutuhan pembangkit listrik.

Bahana Sekuritas meyakini pasar tak memperhitungkan potensi pengetatan ekspor batu bara dari Indonesia yang merupakan eksportir terbesar kedua dunia. Apalagi pemerintah berupaya mengamankan pasokan guna menghindari masalah krisis listrik seperti yang terjadi di Cina dan India.

"Menipisnya pasokan batu bara untuk PLTU, ditambah proyeksi lonjakan pertumbuhan penjualan listrik di masa depan, aturan DMO seharusnya diperketat," kata tim analis Bahana dalam laporannya yang dikutip Katadata.co.id, Kamis (14/10).

Belum lama ini pemerintah juga menjatuhkan sanksi berupa larangan ekspor terhadap 34 produsen batu bara yang tidak dapat memenuhi komitmen DMO. Dalam aturan ini, produsen batu bara wajib memasok 25% produksinya ke grup PLN dengan harga yang telah dikunci di level US$ 70 per metrik ton.

Namun, disparitas yang cukup tinggi antara harga DMO dan ekspor kemudian membuat produsen tak patuh pada kebijakan itu. Pasalnya, harga batu bara di pasar internasional telah tembus di atas US$ 250 per ton. Padahal, stok batu bara di dalam negeri terus menurun. Simak databoks berikut:

Direktur Penerimaan Mineral dan Batu Bara Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Muhammad Wafid mengatakan stok batu bara di sebagian besar PLTU  kurang dari 10 hari. Ini kondisi yang dapat mengancam pasokan listrik.

Sebab sekitar 50% dari kapasitas total 63 gigawatt (GW) pembangkit listrik di Indonesia berasal dari PLTU. Sektor ketenagalistrikan juga sempat menghadapi momen kritis pada Agustus, ketika harga batu bara rata-rata sekitar US$ 170 per ton.

Di sisi lain, negara-negara Asia sebagian besar hingga saat ini masih mengandalkan batu bara dari Indonesia. RI setidaknya menyumbang seperlima dari total ekspor batu bara dengan nilai ekspor mencapai US$ 14 miliar sepanjang 2020.

Sedangkan dari sisi volume, ekspor batu bara relatif stabil di angka 31-34 juta ton setiap bulannya. Artinya lonjakan harga baru-baru ini tidak menghasilkan lebih banyak pasokan untuk ekspor. "Sebagian besar batu bara diekspor ke Cina (51%), India (19%), Filipina (8%), Malaysia (4%), Vietnam (4%), dan Korea Selatan (3%)," tulis laporan tersebut.

Namun, menariknya, Cina dan India tahun ini justru mencatat laju pertumbuhan impor batu bara yang melambat dibandingkan 2020. Ini menandakan sulitnya mengamankan pasokan batu bara di pasar global.

Adapun risiko yang tengah dihadapi pasar batu bara global saat ini yaitu potensi pengetatan ekspor batu bara Indonesia pada kuartal IV demi mengamankan pasokan domestik. Pengiriman batu bara Indonesia biasanya melonjak pada Oktober-Desember, karena permintaan naik seiring datangnya musim dingin.

Apalagi PLN memproyeksikan penjualan listrik pada tahun ini akan tumbuh 4,71% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Artinya aktivitas ekonomi mulai menggeliat yang berimbas pada meningkatnya konsumsi listrik.

Per September, konsumsi listrik PLN tumbuh 4,42% secara tahunan (year on year), melonjak dari pertumbuhan pada Juli yang hanya 1,9%. Peningkatan pertumbuhan listrik terutama didorong segmen industri yang melonjak 10,63% yoy.

Reporter: Verda Nano Setiawan