India menjadi salah satu negara yang paling terdampak kebijakan larangan ekspor batu bara Indonesia. Menurut data pelacakan kapal dari Kpler, India bersama dengan Cina, Jepang, dan Korea Selatan, menerima 73% ekspor batu bara Indonesia pada 2021.
Keempat negara tersebut harus mencari alternatif pasokan jika kebijakan yang rencananya akan ditinjau ulang hari ini, Rabu (5/1) oleh pemerintah Indonesia, tetap berjalan sesuai rencana.
“Sejak kebijakan ini diumumkan, harga batu bara di India telah naik sebanyak 500 rupee atau US$ 6,73 per ton,” kata seorang analis bisnis di perusahaan perdagangan komoditas yang berbasis di Gujarat, India, iEnergy Natural Resources Limited, Riya Vyas, seperti dikutip dari Reuters.
Ekspor batu bara Indonesia ke India berkontribusi hingga 15% dari total ekspor mineral hitam ini pada 2021. Pembeli di India pun harus mencari pemasok lain jika pemerintah Indonesia tak mencabut kebijakan ini.
Dia mengaku tidak mengetahui adanya kejadian force majeure, yang dinyatakan eksportir ketika mereka tidak dapat memasok bahan bakar karena kejadian di luar kendali mereka. Dan jika harus mencari pemasok lain kemungkinan importir batu bara di India harus membayar lebih mahal.
“Kami mungkin mencari batu bara dari tempat lain seperti Australia, atau berusaha mengalihkan kapal pengiriman batu bara ke kawasan lain, seperti Bangladesh, dengan India membayar harga yang lebih tinggi,” kata Vyas.
Menurut data International Energy Agency (IEA), pada 2019 India merupakan negara pengimpor batu bara terbesar kedua di dunia setelah Cina. India mengimpor sekitar 247 juta ton sedangkan Cina 298 juta ton. Simak databoks berikut:
Sementara analis lain mengatakan mereka akan menunggu untuk melihat apakah Indonesia berubah arah pada hari Rabu. “Tentu saja ada reaksi spontan, tetapi orang-orang menunggu untuk melihat bagaimana hasilnya,” kata Puneet Gupta dari pasar perdagangan batubara India Coalshastra.
Adapun larangan ekspor batu bara Indonesia menyusul tahun yang penuh gejolak untuk batu bara global yang membuat harganya meroket seiring krisis pasokan di Cina yang merupakan negara pengkonsumsi batu bara terbesar di dunia.
Harga batu bara di pasar ICE Newcastle Australia melonjak hingga ke level US$ 269,5 per ton, sedangkan harga batu bara acuan Indonesia untuk pertama kalinya dalam sejarah menembus level US$ 200 per ton, tepatnya US$ 215,1 pada Oktober 2021.
Kebijakan ini didasari oleh rendahnya persediaan batu bara di pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) milik PLN dan produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) yang berpotensi menyebabkan pemadaman listrik terhadap sekitar 10 juta pelanggan secara nasional.
Berdasarkan kebijakan Domestic Market Obligation (DMO), penambang batu bara harus memasok 25% dari produksi tahunan mereka ke PLN dengan harga maksimum US$ 70 per ton. “Ini mutlak, tidak boleh dilanggar dengan alasan apapun,” kata Presiden Joko Widodo, Senin (3/1).
Dia menambahkan bahwa perusahaan tambang yang tidak dapat memenuhi kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dapat dikenakan sanksi. Bahkan tidak hanya tidak mendapatkan izin ekspor tetapi juga dicabut izin usahanya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pemerintah terpaksa bertindak cepat. Sebab jika sampai terjadi pemadaman listrik, maka pemulihan ekonomi Indonesia akan terancam. “Harus ada pengorbanan. Pemerintah memilih yang dampaknya minimal terhadap perekonomian,” ujarnya.
Ketua Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Pandu Sjahrir mengatakan telah bertemu pemerintah untuk mencari solusi atas permasalahan ini. Tujuannya adalah menghindari pemadaman listrik. “Sepuluh anggota terbesar kami mencoba membantu kekurangan PLN,” ujarnya.
Meski demikian, APBI meminta agar kebijakan tersebut dicabut. Sebab, beberapa perusahaan tidak dapat menjual ke PLN karena tidak memproduksi batu bara yang sesuai dengan spesifikasi kebutuhan PLN yakni dengan nilai kalor 4.200 Kcal per kilogram atau kurang.
Analis memperkirakan kesediaan para penambang untuk melakukan semua yang mereka bisa untuk memulihkan arus ekspor akan mengarah pada penyelesaian yang cepat, terutama karena mereka memiliki kapasitas pasokan yang melimpah.
“Saya yakin total output bulanan dari tambang Indonesia hanya di bawah angka 40 juta ton, yang akan mewakili sekitar sepertiga dari permintaan domestik tahunan. Dengan demikian, sulit untuk membayangkan hal ini berlarut-larut lebih dari beberapa minggu,” kata analis pasar Seawolf Research, Matt Warder.