Sejumlah pengamat menilai Indonesia berpeluang merebut pasar gas Eropa yang saat ini tengah dilanda kekhawatiran terhentinya pasokan dari Rusia. Ini setelah negara barat beramai-ramai menjatuhkan sanksi ke negeri beruang merah tersebut.
Di sisi lain Uni Eropa juga ingin mengurangi ketergantungannya terhadap pasokan gas dari Rusia yang mencapai 40% dari total kebutuhan kawasan tersebut.
Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro menyampaikan bahwa ini menjadi kesempatan emas bagi Indonesia untuk merebut pasar tersebut. Apalagi pada akhir 2020 lalu, kontrak LNG Bontang tidak diperpanjang oleh pembeli dari Jepang.
"Ini merupakan momentum atau peluang yang dapat kita manfaatkan untuk mengambil pasar gas di Eropa," kata Komaidi kepada Katadata.co.id, Selasa (3/1).
Oleh sebab itu, dia mendorong Kementerian ESDM dan SKK Migas pro aktif dalam menjaring pembeli dari Eropa. Mengingat salah satu diantaranya Inggris sempat mengalami krisis pasokan gas.
Senada, Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan menilai krisis yang terjadi antara Rusia-Ukraina bisa menjadi peluang bagi RI terutama terkait pasar LNG. Indonesia berpeluang mengambil momentum dengan naiknya harga semua komoditas termasuk harga LNG ini.
Ditambah, proyek Tangguh Train 3 akan beroperasi pada akhir tahun ini. "Ini bisa menjadi peluang besar. Tapi kita juga harus tetap menjaga kebutuhan LNG dalam negeri. Jangan sampai nanti kita fokus ke luar tapi dalam negeri teriak kekurangan LNG," ujarnya.
Menurut Mamit dengan harga komoditas yang tengah tinggi saat ini, harga jual LNG RI masih akan tetap kompetitif. Apalagi jika RI memiliki kontrak jangka panjang. "Sangat mampu kita bersaing ke depannya," ujarnya.
Namun, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) Moshe Rizal menilai sangat sulit bagi RI untuk masuk ke pasar Eropa. "Amerika saja sulit untuk menggantikan supply tersebut, apalagi Indonesia," katanya.
Menurut Moshe untuk mengalirkan gas membutuhkan pembangunan infrastruktur yang tidak cepat serta membutuhkan investasi yang tidak sedikit. Selain persoalan tersebut, harga produksi gas di Indonesia juga dinilai masih kalah saing dengan negara lain.
"Harga produksi gas kita masih terlalu tinggi untuk bersaing dengan negara-negara produsen seperti Amerika dan negara Timur Tengah," ujarnya.
Uni Eropa tengah menyiapkan kebijakan energi baru untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasokan energi dari Rusia, terutama gas alam. Komisi Eropa berencana mengumumkan strategi baru ini pada Rabu (2/3).
Para pembuat kebijakan di UE mengatakan bahwa ketergantungan terhadap pasokan energi Rusia membuat kawasan UE tak memiliki kekuatan untuk mengambil tindakan tegas terhadap Rusia atas situasi di Ukraina.
"Uni Eropa yang kuat tidak bisa begitu bergantung pada pemasok energi yang mengancam akan memulai perang di benua kita," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen seperti dikutip dari The Washington Post, Jumat (25/2).
Salah satu strategi utamanya adalah dengan mengebut transisi energi ke sumber energi baru terbarukan (EBT). UE akan mengurangi penggunaan bahan bakar fosil hingga 40% pada 2030 melalui transisi EBT.
Kemudian negara-negara UE akan menumpuk pasokan gas alamnya pada musim panas ini agar pada musim dingin mendatang tak terlalu bergantung pada pasokan dari Rusia.
“Tujuannya agar UE tak lagi rentan terhadap disrupsi dari satu pemasok. Kami mencoba untuk melepaskan diri dari gas Rusia,” kata seorang pejabat Komisi Eropa yang tak mau disebutkan namanya.
Rencana ini harus disetujui oleh 27 negara anggota UE. Namun jika berhasil, kawasan ini akan dapat lebih mudah menentukan kebijakan subsidi kepada warga dan perusahaan untuk mengurangi tagihan energi, serta akan mempercepat perizinan untuk proyek energi terbarukan.