Pengusaha pertambangan batu bara berharap DPR dan pemerintah dapat mengkaji ulang aturan penambahan porsi penjualan untuk kebutuhan dalam negeri atau domestic market obligation (DMO) untuk sektor kelistrikan umum menjadi 30% dari total produksi dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT).
Asosiasi Pertambangan Batu bara Indonesia (APBI) meragukan besaran DMO 30% dapat menyelesaikan permasalahan dalam pelaksanaan DMO batu bara untuk sektor kelistrikan, khususnya jika terjadi lonjakan harga serta gangguan cuaca ekstrim.
“Sebelum ditetapkan, perlu kiranya dikaji kembali secara lebih mendalam. Selama ini data menunjukkan bahwa sejak ada kewajiban DMO kelistrikan dengan harga khusus, realisasinya di bawah 25% akibat berubahnya produksi dan serapan DMO,” kata Direktur Eksekutif APBI, Hendra Sinadia, kepada Katadata.co.id, Selasa (29/3).
Lebih lanjut, kata Hendra, produksi batu bara nasional di tahun 2021 lebih dari 610 juta ton. Sementara realisasi kebutuhan PLN dikisaran 110-120 juta ton, dengan total realisasi domestik 135 juta ton. Kemudian tahun ini produksi ditargetkan 663 juta ton kemungkinan akan lebih besar dari perkiraan realisasi kebutuhan domestik.
Hendra pun mengatakan, pihak APBI belum pernah diundang untuk memberikan masukkan terkait RUU EBT. Adapun pertemuan dengan Komisi VI dan Komisi VII DPR terakhir terjadi pada Januari untuk membahas DMO dan larangan ekspor. “Waktu itu masih ramai soal larangan ekspor. Rapat itu bukan dengan Panja RUU EBT,” ujarnya.
Sebelumnya Komisi VII menargetkan RUU EBT rampung pada kuartal III 2022 setelah selesai diharmonisasi oleh Badan Legislasi (Baleg). Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Eddy Soeparno, mengatakan progres RUU EBT apabila sudah dicapai kesepakatan tahap 1, akan dibawa ke rapat paripurna untuk diajukan kepada pemerintah.
“Kami berharap dalam dua masa sidang bisa selesai. Kuartal III tahun ini. Segera setelah RUU EBT sudah diajukan dan diputuskan oleh paripurna sebagai RUU dari DPR. Setelahnya Komisi VII tinggal menunggu dari pemerintah untuk membahas RUU tersebut,” kata Eddy kepada Katadata.co.id.
Eddy pun menyampaikan, salah satu usulan yang disampaikan dalam RUU EBT yakni menaikkan kewajiban penjualan untuk kebutuhan pasar domestik atau domestic market obligation (DMO) batubara menjadi 30%.
Usulan tersebut dinilai sebagai upaya mencegah potensi minimnya stok batu bara di dalam negeri. “Iya, ada usulan itu. Kami akan membuka diri untuk mendiskusikan itu,” sambungnya.
Pemerintah berencana menaikkan DMO batu bara menjadi 30% dari saat ini sebesar 25% dari total rencana produksi. Hal tersebut tertuang dalam draf rancangan undang-undang RUU EBT yang baru saja merampungkan proses harmonisasi oleh Baleg.
Pada pasal 6 ayat 6 draf RUU EBT disebutkan bahwa untuk memastikan ketersediaan energi primer dalam pemanfaatan pembangkit listrik tak terbarukan yang ada, penyediaan batu bara bagi kebutuhan pembangkit listrik dilakukan dengan mekanisme DMO dengan ketentuan minimal 30% dari rencana produksi dan harga paling tinggi US$ 70 per ton dengan acuan batu bara kalori 6.322 kcl per kg.