Harga Minyak Anjlok 7% Dipicu Sentimen Inflasi dan Ancaman Resesi

Katadata
Rig pengeboran migas lepas pantai.
22/6/2022, 18.27 WIB

Harga minyak anjlok lebih dari 7% pada Rabu (22/6) siang di tengah ancaman inflasi dan kekhawatiran resesi yang memaksa bank sentral di berbagai negara menaikkan suku bunga. Melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, atau lebih parah, resesi, dapat menekan prospek permintaan energi dan menekan harga.

Mengutip Bloomberg, harga minyak Brent hari ini sempat menyentuh level US$ 108,86 per barel atau turun 6,26% dibandikan posisi tertinggi kemarin di US$ 116,13. Sedangkan harga minyak Amerika Serikat (AS), West Texas Intermediate (WTI) menyentuh US$ 103,91 per barel, turun 7,29% dari posisi sebelumny US$ 112,08.

Investor khawatir tentang dampak dari kenaikan tajam suku bunga AS dan kebijakan lanjutan yang akan diumumkan Ketua Federal Reserve Jerome Powell di hadapan Kongres hari ini tentang upayanya untuk mengekang inflasi yang menyentuh level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir.

Di luar Amerika inflasi juga mengamuk, dengan Inggris mencatatkan kenaikan harga tertinggi baru dalam 40 tahun. Inflasi terutama dipicu oleh lonjakan harga energi sebagai dampak dari gangguan pasokan yang disebabkan perang Rusia-Ukraina.

Terlepas dari kekhawatiran tentang inflasi, permintaan minyak masih dalam tahap menuju pemulihan ke tingkat sebelum Pandemi Covid-19. Sementara pasokan diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan permintaan, menjaga pasar tetap ketat.

Adapun kapasitas penyulingan minyak AS turun pada tahun 2021 untuk tahun kedua berturut-turut karena penutupan pabrik mengurangi kemampuan kilang untuk memproduksi bensin dan solar. Selain itu, pasokan minyak akan semakin ketat karena sanksi minyak Eropa terhadap Rusia masih belum berlaku.

"Pasar masih berdamai dengan meningkatnya gangguan terhadap minyak Rusia. Sanksi Eropa belum berlaku," kata analis ANZ Research dalam sebuah catatan, merujuk pada data yang memperlihatkan bahwa sejauh ini hanya ada penurunan yang relatif terbatas dalam pasokan bahan bakar Rusia ke Eropa sejak konflik dimulai.

Kepala strategi komoditas di ING Groep NV di Singapura, Warren Patterson mengatakan bahwa pengaruh makro yang lebih luas telah menentukan arah harga minyak baru-baru ini. ”Namun, secara fundamental pasar masih tetap konstruktif,” ujarnya seperti dikutip Bloomberg pada Rabu (22/6).

Dia menambahkan bahwa keseimbangan pasar minyak akan ketat di sisa tahun ini, sementara dalam jangka pendek margin kilang yang kuat harus mendukung permintaan minyak mentah.

Adapun penurunan harga minyak hari ini juga disebabkan komoditas lain juga melemah. Tembaga dan bijih besi keduanya menurun. Satu-satunya sentimen positif untuk harga minyak mentah adalah penguatan dolar yang membuat impor lebih mahal bagi pemegang mata uang lainnya.

"Investor harus ingat bahwa perlambatan yang disebabkan oleh Fed hanyalah pengurangan gejala jangka pendek - inflasi - dan bukan obat untuk masalah - kurangnya investasi," kata Goldman Sachs Group Inc. dalam sebuah catatan.

Sementara itu desakan Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden untuk memangkas harga bahan bakar membuahkan hasil yang diharapkan dan menekan harga minyak.

Biden pada hari ini diperkirakan bakal menyerukan untuk sementara menangguhkan pajak federal 18,4 sen per galon bensin. Penangguhan pajak tersebut dilakukan disaat AS sedang berjuang mengatasi kenaikan harga bensin dan inflasi.

"Upaya terbaru untuk meredam lonjakan harga di SPBU memiliki efek yang diinginkan. Namun apakah reaksi spontan ini akan bertahan dalam ujian waktu, sama sekali tidak ada jaminan," kata Stephen Brennock dari PVM, dikutip dari Reuters.

Managing Partner di SPI Asset Management, Stephen Innes, mengakui bahwa sejumlah pedangang minyak mengeluhkan harga minyak yang lebih tinggi. Innes menyebut harga bensin yang lebih tinggi akan menyebabkan serangan ganda yang lebih agresif dari The Fed (AS).

"Mendorong suku bunga lebih tinggi dan pemerintahan Biden untuk semakin kreatif di bidang politik dan fiskal untuk menjinakkan inflasi energi," jelas Innes, dikutip dari businesstoday.

CEO Chevron Michael Wirth, mengatakan cara yang dilakukan Pemerintah AS dengan mengkritik industri minyak bukanlah cara untuk menurunkan harga bahan bakar. Writh mengatakan, pemerintah AS harus mengubah pendekatannya kepada para perusahaan minyak.

"Tindakan ini tidak bermanfaat untuk memenuhi tantangan yang kami hadapi," kata Wirth dalam surat yang ditujukan kepada Biden, yang memicu tanggapan dari Biden yang mengatakan industri terlalu sensitif.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu