Sejumlah pakar energi menilai disparitas harga BBM antara solar bersubsidi dan solar non-subsidi, seperti Dexlite dan Pertamina Dex, berpotensi mendorong migrasi konsumen, terutama pada kendaraan sektor industri.
Setelah Pertamina melakukan penyesuaian harga pada sejumlah produk BBM per 1 November 2022, harga Dexlite di wilayah Jawa-Bali naik menjadi Rp 18.000 per liter dari sebelumnya Rp 17.100 per liter. Sedangkan Pertamina Dex juga naik menjadi Rp 18.550 per liter dari sebelumnya Rp 17.400 per liter.
Sementara harga Solar subsidi tetap berada di Rp 6.800 per liter. Dengan demikian selisih antara harga jual Solar dan Dexlite mencapai Rp 11.200 per liter dan Rp 11.750 per liter untuk Pertamina Dex.
Pakar Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi, mengatakan bahwa disparitas harga yang tinggi berpotensi menciptakan perpindahan konsumen dari pengguna solar non subsidi ke solar subsidi.
“Saya kira migrasi akan lebih banyak dari sektor industri karena aspek biaya angkut menjadi variabel dalam penetapan harga pokok produksi, sehingga ditekan semaksimal mungkin dengan cara mengalihkan pembelian pada solar subsidi,“ kata Fahmi kepada Katadata.co.id, Selasa (1/11).
Meski demikian, Fahmy juga melihat potensi perpindahan konsumen kendaraan pribadi walau dalam jumlah yang relatif minim. Walau begitu, Fahmy mengatakan pemerintah tidak bisa menyalahkan konsumen yang memilih migrasi ke BBM subsidi yang harga jualnya lebih murah karena regulasi seleksi konsumen belum diatur.
“Kalau mobil pribadi tidak banyak, kalaupun ada, mereka akan berhitung untuk migrasi dari Dex karena pengaruh ke mesin,“ ujar Fahmy.
Adapun BBM Dexlite memliki nilai kualitas bensin atau cetane di angka 51 serta mengandung sulfur paling maksimal 1200 ppm. Jenis bensin ini sangat disarankan untuk kendaraan bermesin diesel.
Sementara Pertamina Dex memiliki angka cetane 53 dan mengandung sulfur kurang dari 300 ppm serta sudah memenuhi standar Euro 3. BBM ini direkomendasikan untuk kendaraan bermesin diesel modern untuk kendaraan umum maupun pribadi.
Pembatasan Konsumsi Solar Belum Berjalan
Pemerintah sejatinya telah menetapkan aturan untuk mengatasi persoalan migrasi konsumen BBM Solar melalui Surat Keputusan (SK) Kepala BPH Migas Nomor 04/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2020.
Dalam SK tersebut, kendaraan pribadi roda empat dibatasi pembelian maksimal 60 liter per hari. Selanjutnya, angkutan umum orang atau barang roda empat dibatasi 80 liter per hari dan angkutan umum orang atau barang roda enam maksimal 200 liter per hari.
Menanggapi hal tersebut, Peneliti Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, mengatakan implementasi SK BPH Migas di lapangan kerap tak sesuai harapan mengingat minimnya pengawasan aparat penegak hukum dan sanksi di lapangan.
Ferdy menjelaskan, regulasi tersebut mengandung banyak celah. Satu diantaranya yakni para petugas SPBU tidak punya perangkat atau mekanisme yang bisa membedakan antara truk milih masyarakat dan truk milik perusahan. Petugas SPBU juga kerap kali kecolongan karena adanya praktik pengisian berulang.
"Masalahnya tidak ada identifikasinya, bagaimana petugas tahu truk roda enam itu bukan punya pengusaha besar? saya kira perlu ada detail konsumen yang lebih rigit," kata Ferdy lewat sambungan telepon pada Selasa (1/11).
Ferdy pun menambahkan, pemerintah harus segera mengesahkan revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga Jual Eceran Bahan Bakar Minyak.
Melalui perpres tersebut, pemerintah bisa punya kuasa lebih untuk mengatur detail konsumen yang berhak menerima BBM bersubsidi. Lebih lanjut salah satu upaya yang perlu dipertimbangkan oleh pemerintah untuk melakukan pengetatan distribusi BBM bersubsidi yakni dengan penandaan pada plat nomor kendaraan.
Kendaraan yang dirasa layak untuk mendapat jatah BBM bersubsidi diberi tanda unik berupa pelat nomor kendaraan yang diberi warna khusus. "Sejauh ini pemerintah hanya menghimbau saja dan berharap pada moralitas publik, kasihan Pertamina. Ini perlu regulasi, detail konsumen yang jelas dan sanksi tegas," ujar Ferdy.
Sekretaris Perusahaan Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting, menjelaskan bahwa kenaikan harga Dexlite dan Pertamina Dex disebabkan oleh tingginya permintaan bahan bakar diesel di dunia sebagai salah satu substitusi bahan bakar gas.
“MOPS Kerosene sebagai acuan harga diesel pada periode 25 September-24 Oktober di angka rata-rata US$ 130 per barel. Sedangkan MOPS untuk gasoline rata-rata publikasinya mengikuti tren minyak bumi,” kata Irto.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu, mengatakan praktik penyaluran BBM Solar masih jauh dari kata tepat sasaran. Untuk subsidi BBM Solar tahun 2022, total subsidi mencapai Rp 143,4 triliun. Dari jumlah itu, sebesar 89% atau Rp 127,6 triliun dinikmati dunia usaha. Sementara, 11% atau Rp 15,8 triliun dinikmati rumah tangga.
Dari Rp 15,8 triliun yang dinikmati rumah tangga, hanya 5% atau Rp 79 miliar yang dinikmati orang miskin, seperti petani dan nelayan. Sementara, 95% atau Rp 15 triliun dinikmati masyarakat mampu.
Febrio memastikan, kondisi itu menunjukkan pemberian subsidi yang tidak tepat sasaran. Padahal, subsidi energi sebesar Rp 502 triliun pada tahun ini setara dengan pembangunan 3.333 rumah sakit skala menengah. "Atau setara dengan pembangunan 227.886 sekolah dasar," ujar dia.