Menteri ESDM: Super Grid jadi Kunci RI Mencapai Nol Emisi Karbon

ANTARA FOTO/Galih Pradipta/YU
Ilustrasi, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap milik PT Pertamina Hulu Indonesia Regional 3 Tarakan Field.
Penulis: Agung Jatmiko
12/11/2022, 15.10 WIB

Dalam perhelatan BNEF Summit, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menyebutkan, bahwa pengembangan super grid menjadi kunci bagi Indonesia mencapai nol emisi karbon, di sektor ketenagalistrikan.

Targetnya, pada 2060 Indonesia memiliki bauran pembangkit dari berbagai sumber energi, dengan fokus utama di energi baru dan terbarukan (EBT).

Secara nasional, pada 2060 Indonesia menargetkan kapasitas pembangkit listrik EBT mencapai 708 gigawatt (GW). Secara perinci, sebanyak 60 GW berasal dari bioenergy, 22 GW berasal dari geothermal, 72 GW dari pembangkit hydro, 421 GW dari pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).

Lalu, sebanyak 94 GW dari pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB), 8 GW berasal dari energi arus laut, dan 31 GW dari energi nuklir.

Dari peta super grid yang dipaparkan oleh Menteri ESDM, kapasitas terbesar berada di wilayah Sumatra, dengan target 150 kV pada 2022, dan 500 kV pada 2030 mendatang. Daya yang besar di Sumatra ini, lantaran super grid dimaksudkan untuk mendukung jaringan kelistrikan ASEAN, atau ASEAN power grid.

Kemudian, sebesar 150 kV untuk interkoneksi Kalimantan, yang targetnya rampung pada 2023. Lalu, sebesar 150 kV untuk interkoneksi bagian utara dan selatan Sulawei, yang ditargetkan selesai pada 2024.

"Untuk rencana interkoneksi Bali-Lombok sebesar 150 kV, masih membutuhkan studi lebih lanjut, terkait interkoneksi Jawa-Nusa Tenggara," ujar Arifin.

Sementara, untuk jaringan Jawa, Madura, dan Bali, Menteri ESDM mengatakan pembangkit listrik yang akan mendominasi di masa mendatang adalah PLTS, dengan total kapasitas 109 GW, diikuti dengan PLTB dengan kapasitas 40 GW.

Sejatinya, rencana menghubungkan sistem kelistrikan antarpulau di Indonesia ini sudah didengungkan sejak lama, yakni melalui konsep Nusantara Super Grid. Meski demikian, proyek ini akan membutuhkan investasi yang cukup besar.

Kajian IESR yang bertajuk "Deep Decarbonization of Indonesia Energy System" menyebutkan, untuk membangun interkoneksi antarpulau ini membutuhkan investasi sekitar US$ 100 miliar atau lebih dari Rp 1.450 triliun hingga 2050.