Krisis energi global yang dampaknya paling dirasakan di Eropa berpotensi menjadi jauh lebih buruk selama beberapa tahun ke depan karena dampak dari perang Rusia dan Ukraina, jika perang itu tak segera berakhir.
Hal tersebut diungkapkan oleh Chief Executive Officer JPMorgan Chase, Jamie Dimon, dalam sebuah wawancara dengan CBS. “Bahaya perang ini luar biasa. Ini bisa berlangsung selama bertahun-tahun,” ujarnya dalam wawancara tersebut seperti dikutip Oilprice.com, Senin (12/12).
Dia memperkirakan bahwa kawasan Eropa dapat melalui krisis energi di musim dingin ini. Namun ia memperkirakan krisis energi, terutama terkait minyak dan gas, berpotensi memburuk selama beberapa tahun ke depan jika perang berlarut-larut.
“Jadi jika saya berada di pemerintahan atau di mana pun, menurut saya, saya harus bersiap untuk menghadapi krisis yang lebih buruk. Semoga saja tidak seperti itu. Tapi saya pasti akan mepersiapkan diri untuk menghadapi kondisi yang memburuk,” kata Dimon.
Dia juga mengomentari kemerosotan harga minyak baru-baru ini. Dimon mengaitkannya dengan perlambatan ekonomi di Cina yang didorong oleh peningkatan infeksi Covid-19 baru dan kebijakan nol-Covid pemerintah Cina. Meski begitu dia meyakini penurunan harga hanya akan bersifat sementara.
Hal ini lantaran pemerintah Cina mulai melonggarkan pembatasan Covid setelah protes meletus di beberapa kota di negara itu. “Harga minyak akan berbalik. Dan kurangnya investasi dalam minyak dan gas ini akan merugikan Anda dalam dua atau tiga tahun ke depan. Ini cukup dapat diprediksi, tapi tidak akan terjadi hari ini,” ujarnya.
Kurangnya investasi dalam produksi minyak dan gas telah lama diperingatkan oleh OPEC selama bertahun-tahun. Sehingga, kurangnya investasi ini bukan akibat langsung dari invasi Rusia ke Ukraina, melainkan lebih terkait dengan dorongan transisi energi pemerintah Barat ketimbang reaksi terhadap perang.
“Kita membutuhkan minyak dan gas, yang aman, andal, dan murah. Masalahnya, banyak orang berpikir bahwa harga minyak dan gas yang tinggi baik untuk CO2. Tidak sama sekali,” kata dia.
Krisis Energi Mempercepat Proses Transisi Energi
Di saat yang sama, krisis energi yang memburuk sebagai imbas dari perang Rusia-Ukraina, berpotensi mempercepat transisi energi, dari sumber energi fosil ke sumber energi terbarukan.
International Energy Agency atau IEA dalam laporan World Energy Outlook 2022 menyebutkan invasi Rusia ke Ukraina telah memicu krisis energi global yang pada gilirannya berpotensi mempercepat transisi energi dunia dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan.
Dalam skenario WEO berdasarkan kebijakan yang berlaku saat ini, yang disebut dengan Stated Policies Scenario, total permintaan bahan bakar fosil akan terus menurun mulai pertengahan 2020 hingga akhir 2050.
“Dengan kebijakan saat ini, dunia energi berubah secara dramatis. Respons pemerintah di seluruh dunia adalah berjanji untuk menjadikan krisis ini sebagai titik balik bersejarah menuju sistem energi yang lebih bersih, lebih terjangkau, dan lebih aman,” kata Fatih Birol, Direktur Eksekutif IEA, Jumat (28/10).
Dalam Stated Policies Scenario, porsi bahan bakar fosil pada bauran energi global turun dari sekitar 80% menjadi hanya 60% pada 2050. Emisi CO2 global juga turun perlahan dari titik tertinggi 37 miliar ton per tahun menjadi 32 miliar ton pada 2050. Penurunan juga akan terjadi dalam perdagangan batu bara global.
Outlook ini menghitung berdasarkan skenario janji yang diumumkan pemerintah negara-negara di dunia atau Announced Pledges Scenario (APS) yang menyebut bahwa perdagangan global batu bara turun 25% hingga 2030 dan 60% hingga 2050.
“Perjalanan menuju sistem energi yang lebih aman dan berkelanjutan mungkin tidak mulus. Tetapi krisis energi global saat ini memperjelas mengapa kita perlu terus maju,” kata Birol.