Chevron dan SKK Migas Digugat atas Dugaan Pencemaran Limbah B3 di Riau

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/wsj.
Karyawan berjalan di lokasi Rig (alat pengeboran minyak bumi) PDSI 49 milik PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) di Duri, Riau, Senin (8/8/2022).
14/12/2022, 15.42 WIB

PT Chevron Pacific Indonesia (CPI), SKK Migas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan (KLHK), serta Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau digugat ke Pengadilan Negeri (PN) Pekanbaru atas dugaan pencemaran lingkungan dari di 297 lokasi di empat kabupaten/kota di Provinsi Riau.

Lewat nomor perkara 150/Pdt.G/LH/2021/PN Pbr, mereka disebut membuang limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) berupa tanah terkontaminasi minyak (TTM) dari Blok Rokan ke area kawasan konservasi Taman Hutan Raya Sultan Syarif Hasyim hingga ladang dan kebun milik masyarakat sekitar.

Lembaga Pencegah Perusak Hutan Indonesia (LPPHI) sebagai pihak penggugat mengatakan bahwa gugatan tersebut diajukan pertama kali ke PN Pekanbaru pada 6 Juli 2021 lalu.

Gugatan itu ditujukan untuk menegaskan tanggungan Chevron sebagai pihak pengelola WK Rokan yang belum menuntaskan kewajibannya dalam melakukan pemulihan pada 297 lokasi terdampak pencemaran lingkungan limbah B3.

Sekretaris LPPHI Hengki Seprihadi mengatakan pencemaran limbah itu terjadi di Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kabupaten Siak, dan Kota Pekanbaru. Chevron dinilai abai dalam melaksanakan tanggung jawab pemulihan lingkungan dari aktivitas pengelolaan Blok Rokan sebelum alihkelola ke Pertamina pada 9 Agustus 2021.

"Menjelang peralihan pengelolan Blok Rokan dari Chevron ke PHR (Pertamina Hulu Rokan), masih ada 297 lokasi pencemaran yang belum dipulihkan oleh Chevron," kata Hengki saat dihubungi lewat sambungan telepon pada Rabu (14/12).

Hengki mengatakan tindakan yang dilakukan oleh para tergugat merupakan perbuatan melawan hukum, khususnya pada Pasal 54-55 Undang-Undang (UU) 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Secara garis besar, pasal tersebut menyatakan bahwa siapa yang melakukan pencemaran, maka dia yang waijb melakukan pemulihan. Dalam kasus ini, ujar Hengki, Chevron menjadi pihak yang harus menyelesaikan perkara pencemaran lingkungan B3 tersebut.

Selain itu, kata Hengki, KLHK juga tak kunjung merilis hasil audit lingkungan terhadap Blok Rokan saat periode masa transisi pengelolaan dari Chevron ke PHR. Hal tersebut juga dirasa melanggar ketentuan dalam Pasal 50 UU 32 tahun 2009.

"Audit lingkungan itulah yang sebenarnya akan menetukan kerugian-kerugian dan kewajiban apa saja yang belum dilaksanakan dan apa harus dilaksanakan," ujar Hengki.

Adapun gugatan terhadap SKK Migas, KLHK dan Dinas LHK Provinsi Riau lantaran tiga pihak tersebut lalai menjalankan tugas dan fungsi masing-masing sehingga mengakibatkan Chevron tidak memulihkan seluruh pencemaran B3 TTM di WK Rokan.

Hengki menjelaskan, dalam publikasi dan bukti surat pada sidang sebelumnya, SKK Migas telah menandatangani kesepakatan berupa head of agreement dengan Chevron yang berisi penugasan kepada PHR untuk melakukan pemulihan fungsi lingkungan hidup akibat pencemaran yang dilakukan oleh Chevron.

Di dalam head of agreement itu, disepakati bahwa Chevron menyalurkan dana US$ 265 juta yang disetor ke rekening bersama milik Chevron dan SKK Migas.

Namun lebih satu tahun setelah alih kelola, PHR disebut belum mampu melaksanakan penugasan dari SKK Migas untuk memulihkan lebih dari 6 juta metrik ton warisan limbah peninggalan Chevron. "Mestinya menurut kami pemulihan itu wajib tanggung jawab Chevron," ujarnya.

Masih menurut Hengki, dalam masa transisi alih kelola Blok Rokan, PHR telah melaksanakan due diligence atau uji tuntas terhadap kewajiban yang harus mereka tanggung sebagai pengelola Blok Rokan berikutnya.

Dari hasil uji tuntas tersebut, didapati bahwa angka kewajiban pemulihan fungsi lingkungan hidup berada di besaran US$ 1,4 miliar. Temuan angka ini lebih besar dari dana yang disalurkan oleh Chevron sejumlah US$ 265 juta.

"Itu yang menjadi tanda tanya bagi kami. Jika artinya head of agreement itu yang sekarang menjadi acuan, patut kita duga bahwasannya sisa dari selisih antara US$ 1,4 miliar dikurangi dengan US$ 265 juta yang disetorkan oleh Chevron akan ditanggung oleh negara," ujarnya. "Sementara di dalam UU 32 menyebutkan, siapa yang melakukan pencemaran dia yang melakukan pemulihan. Dalam hal ini Chevron."

Mediasi Gagal

Sebelum memasuki agenda pokok persidangan, pihak LPPHI mengaku telah melakukan mediasi kepada para tergugat secara formal lewat perantara hakim maupun mediasi non-formal di luar mekanisme pengadilan.

Dalam mediasi tersebut, LPPHI mengusulkan agar dibentuk pengawas independen yang bertugas mengawasi pemulihan fungsi lingkungan yang terdiri dari unsur akademisi, praktisi, masyarakat, pakar, pers dan lembaga swadaya masyarakat. Namun usulan tersebut ditolak oleh pihak tergugat.

"Karena perkara ini tergolong perdata, maka ada masa satu bulan mediasi antara para penggugat dan para tergugat," kata Hengki.

LPPHI menilai pembentukan badan pengawas independen bertujuan mengontrol jalannya fungsi pemulihan lingkungan terhadap 297 lokasi yang tersebar di empat kabupaten/kota di Provinsi Riau, mengingat dana yang dibutuhkan sangat besar sehingga berpotensi menimbulkan kerugian negara.

"Pihak tergugat sepakat dan menyatakan akan melakukan pemulihan, akan tetapi mereka tidak sepakat dengan adanya tim pengawasan independen. Akhirnya deadlock. Para tergugat hanya mengutarakan bahwa mereka sudah melakukan pemulihan di lokasi lain, di luar 297 itu," ujar Hengki.

Sebaliknya LPPHI menilai pengawas independen ini penting. Sebab pengawasan yang ada selama ini menghasilkan 297 lokasi yang tercemar limbah B3 yang belum dipulihkan sampai berakhirnya kontrak Chevron di Blok Rokan.

Sebagai informasi, hari ini Majelis Hakim Perdata PN Pekanbaru akan mengeluarkan penetapan putusan atas gugatan LPPHI melawan Chevron Pacific Indonesia, SKK Migas, Kementerian LHK dan Dinas LHK Provinsi Riau pada pukul 16.00 WIB. Hasil putusan akan diunggah di laman PN Pekanbaru lewat e-litigasi.

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu