Komisi VII DPR berencana memanggil Menteri ESDM Arifin Tasrif untuk mendapat kejelasan terkait perpanjangan izin ekspor tembaga PT Freeport Indonesia (PTFI) hingga 2024. Padahal ekspor mineral mentah harus dihentikan pada Juni 2023 sesuai amanat Undang-Undang Minerba.
Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menjelasakan pemanggilan ini dinilai sangat penting untuk mengklarifikasi sejumlah hal. Termasuk tentang rencana Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) sebagai dasar hukum perpanjangan izin ekspor tersebut.
Mulyanto menyebut rencana Pemerintah memperpanjang izin ekspor tembaga punya dua dimensi inkonsistensi yang mencerminkan lemahnya Pemerintah dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA) nasional.
Dua dimensi inkonsistensi Pemerintah itu adalah dimensi kebijakan dan dimensi bentuk hukum kebijakannya sendiri. “Kebijakan Pemerintah yang inkonsisten ini berpotensi melanggar konstitusi yang mengamanatkan penguasaan SDA oleh negara sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (3/5).
Menurut Mulyanto, bila ekspor mineral mentah ini terus dibiarkan maka nilai tambah dari pengelolaan SDA akan dinikmati oleh bangsa lain.
“Sementara, rakyat kita hanya menerima sisa remah-remahnya saja. Ini kan mengenaskan. Negara dengan kekayaan SDA yang berlimpah, namun rakyatnya miskin, karena ekonominya bersifat ekstraktif,” ujarnya.
Mulyanto menilai Pemerintah inkonsisten karena selama ini mengglorifikasi program hilirisasi SDA tetapi nyatanya menyerah terhadap desakan Freeport. Bahkan, secara langsung kebijakan Pemerintah ini menabrak UU No.3/2020 tentang Pertambangan Minerba, khususnya pasal 170A, yang melarang ekspor mineral mentah sejak bulan Juni 2023.
Selain itu, kebijakan Pemerintah tersebut juga diskriminatif dibandingkan dengan kebijakan untuk mineral lain seperti nikel, dimana ekspor bijih nikel sudah sejak lama dilarang Pemerintah.
“Yang kedua adalah bentuk regulasi yang akan dikeluarkan Pemerintah. Menteri ESDM berencana akan mengeluarkan Permen (Peraturan Menteri), sebagai dasar hukum izin ekspor mineral mentah tersebut,” kata dia.
Dia melanjutkan, kalau ini benar bahwa dasar hukum bagi izin ekspor konsentrat tembaga ini hanya berupa Permen (Peraturan Menteri), maka ini menjadi hal yang aneh. “Masak Undang-undang dibatalkan dengan Permen. Undang-undang hanya dapat dibatalkan dengan undang-undang juga,” kata Mulyanto.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk memperpanjang izin ekspor konsentrat tembaga PT Freeport Indonesia dan PT Amman Mineral Nusa Tenggara hingga pertengahan 2024. Keputusan ini seiring proyek smelter kedua produsen tembaga tersebut yang belum rampung.
Di sisi lain pemerintah juga merupakan pemilik saham mayoritas di Freeport yang sebelumnya melaporkan bahwa larangan ekspor tembaga pada pertengahan tahun ini akan menyebabkan kerugian bagi perusahaan hingga Rp 57 triliun.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Arifin Tasrif menjelaskan relaksasi tersebut diberikan mengingat pemerintah menguasai 51% saham Freeport Indonesia. Dengan demikian, kebijakan pelarangan ekspor tersebut dinilai akan berdampak besar ke pemerintah.
Pemerintah juga mengakui bahwa pembangunan smelter yang molor lantaran terkendala pandemi, sehingga pemerintah memberi waktu bagi Freeport dan Amman untuk menyelesaikan proyek smelter.
"Kita tahu bahwa dalam pembangunan smelter itu terkendala, ada pandemi yang menjadi bahan konsiderasi kita," kata Arifin di Istana Kepresidenan, Jumat (28/4). "Pandemi membuat konstruksi smelter tersebut tertunda. Contohnya pembangunan smelter di Freeport yang menggunakan tenaga kerja dari Jepang."
Menurutnya, Jepang melakukan lockdown selama pandemi yang membuat pembangunan smelter di dalam negeri tertunda. Alhasil, pekerjaan rekayasa atau engineering smelter milik Freeport tertunda.