SKK Migas: 427 Sumur Pengembangan Migas Dibor meski Alat Langka

ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/rwa.
Seapup 1 Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java (ONWJ) saat perawatan salah satu sumur minyak dan gas di lepas pantai utara Indramayu, Laut Jawa, Jawa Barat, Minggu (2/4/2023).
1/9/2023, 20.40 WIB

Pengeboran mencapai 427 sumur pengembangan migas atau minyak dan gas selama Januari – Juli. Jumlahnya meningkat 2% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Deputi Eksploitasi SKK Migas Wahju Wibowo memperkirakan 919 sumur pengembangan migas dibor tahun ini. Proyeksi ini di bawah target 991.

Hal itu karena ada kendala pada ketersediaan rig atau alat pengeboran untuk kegiatan hulu migas yang sesuai dengan kebutuhan. Kelangkaan ini membuat harga sewa rig naik.

Ia pun mengapresiasi kolaborasi antar-kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) yang melakukan kontrak payung untuk jenis rig yang sama. Hal ini mengatasi persoalan ketersediaan rig dan mendorong efisiensi biaya secara signifikan.

“Supaya rig optimal, kami mengoptimalisasi penggunaan rig sesuai jadwal dan melakukan proses mobilisasi rig supaya semakin optimal,” kata Wahju dalam siaran pers, Jumat (1/9).

Sebelumnya, Indonesian Petroleum Association (IPA) menyoroti kelangkaan dan tingginya biaya sewa rig untuk kegiatan hulu migas di dalam negeri.

Kondisi tersebut berpotensi mengancam pencapaian target pengeboran sumur migas tahun ini, yang diperkirakan hanya 864 sumur.

Vice President IPA Ronald Gunawan menjelaskan, kekurangan bor di sektor hulu migas bermula saat mayoritas pelaku usaha mengurangi kegiatan pengeboran imbas krisis Pandemi Covid-19 selama 2020 - 2022.

Mayoritas perusahaan penyewaan rig dan yang memiliki rig mandiri, mengendapkan alat pengeboran mereka di lokasi penyimpanan saat itu.

Kemudian gairah pengeboran hulu migas meningkat pada pertengahan tahun lalu,  seiring krisis energi di Eropa. Perburuan energi fosil secara gencar menimbulkan permintaan rig yang naik signifikan. Angka permintaan lebih tinggi dari jumlah rig yang tersedia.

Status rig yang telah lama berada di lokasi penyimpanan juga membutuhkan biaya pemeliharaan tambahan sebelum digunakan kembali. Alhasil, ada biaya tambahan dan memakan waktu relatif lebih lama.

"Saat mulai ramai drilling, penyediaan rig perlu waktu, order lagi dan itu tidak datang dalam satu bulan. Terkadang tiga sampai empat bulan. Akibatnya terjadi problem persediaan dan permintaan," kata Ronald dalam Konferensi Pers IPA Convex di Kembang Goela Jakarta, pada Juli (20/7).

Reporter: Muhamad Fajar Riyandanu