Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan implementasi biodiesel 40% atau B40 pada 2024. Direktur Eksekutif Energy Watch Daymas Arangga Radiandra mengatakan, penerapan B40 memang sudah seharusnya dilakukan pada 2024. Hal itu melihat pengembangan B35 yang sudah cukup baik pada tahun ini.
“Kami dari Energy Watch melihat ini merupakan langkah yang sudah seharusnya dilakukan, dengan catatan kajian dan pengujiannya tetap harus dilakukan dengan cermat,” ujar Daymas saat dihubungi Katadata.co.id, Senin (4/9).
Daymas menjelaskan, adanya penerapan B40 pada tahun depan diperkirakan berpotensi mengurangi emisi sebesar 40% dengan acuan, satu liter solar menghasilkan sekitar 2,35 kilogram (kg) karbon dioksida (CO2).
“Apabila 40% digantikan oleh biofuel, maka akan ada potensi pengurangan emisi sebesar 40% pula,” ujarnya.
B40 adalah biodiesel yang mengandung fatty acid methyl ester atau FAME minyak kelapa sawit sebesar 40% dalam komposisi BBM solar.
Dia menuturkan, saat ini estimasi kebutuhan pasokan untuk B40 tersebut diperkirakan sebesar 15 juta kilo liter (KL) biodiesel per harinya. Angka tersebut lebih besar dibandingkan kebutuhan biodiesel B35 sebesar 13,15 juta KL.
Namun demikian, terkait berapa jumlah emisi yang bisa dikurangi secara signifikan, menurutnya perlu dilakukan validasi dan juga penyamaan dalam metodologi perhitungan emisi secara lebih terperinci.
“Karena kita perlu melihat dari hulu ke hilir bagaimana biodiesel itu diproduksi, apakah sudah menerapkan perkebunan berkelanjutan?. Apakah energi yang digunakan di kebun sudah menggunakan energi terbarukan? Dan lain sebagainya,” ujarnya.
Selain itu, Daymas menjelaskan alasan pemerintah harus menerapkan B40 pada tahun depan lantaran hal tersebut merupakan langkah yang harus ditempuh untuk pengembangan biofuel di Indonesia. Sebagai informasi, saat ini posisi Indonesia merupakan penghasil biofuel terbesar di dunia.
“Ini merupakan langkah Indonesia dalam menjadi produsen biofuel bukan hanya kebutuhan domestik, namun sangat mungkin bisa menjadi pemasok utama ekosistem biofuel dunia,” ujar Daymas.
Sebelumnya, Menteri ESDM Arifin Tasrif optimistis target penerapan B40 pada tahun depan bisa tercapai karena menilai penerapan B35 yang cukup baik pada tahun ini.
Arifin mengatakan, implementasi B40 pada tahun depan merupakan langkah pemerintah untuk menekan impor solar dan mengantisipasi kenaikan harga minyak dunia. Selain itu, juga untuk mendukung Indonesia menuju net zero emission pada 2060 atau lebih cepat.
“Sekarang begini, kalau kita mau menuju green, greenfuel, B35 tahun depan kita bikin menjadi B40,” ujar Arifin saat ditemui awak media, di Kantor Kementerian ESDM, Jumat (31/8).
Dia mengatakan, pihaknya sudah melakukan percobaan dalam penggunaan B40 tersebut. Dalam percobaannya, Arifin menilai bahwa untuk meningkatkan 40% rasio pencampuran biodiesel dibutuhkan produksi hingga 15 juta kilo liter biodiesel.
Arifin mengatakan, uji coba tersebut dimulai sejak pertengahan tahun 2022, di mana Kementerian ESDM telah menyelesaikan uji coba B40 pada 10 kendaraan roda empat dengan hasil uji coba yang positif. “Kami telah melaksanakan uji jalan B40 mulai dari Juli 2022 dengan menggunakan bahan bakar campuran biodiesel sebesar 40%,” kata dia.
Saat ini pemerintah telah menerapkan biodiesel 35% atau B35 sebagai bahan campuran BBM diesel produk Pertamina mulai Februari 2023. Selain diterapkan pada BBM bersubsidi Solar, implementasi B35 juga dilakukan pada BBM non-subsidi Dexlite.
Kementerian ESDM juga menyampaikan kandungan biodiesel di B35 seluruhnya berasal dari FAME minyak sawit. Komposisi penggunaan FAME sebagai bahan baku utama campuran B35 ini lebih tinggi daripada implementasi uji jalan B40 yang punya komposisi 30% FAME dan 10% HVO atau hydrotreated vegetable oil.