SKK Migas melaporkan bahwa telah terjadi penurunan produksi minyak di Lapangan Banyu Urip yang dikelola oleh ExxonMobil Cepu Limited (EMCL) pada pertengahan Juli lalu.
Hal ini ditandai dengan kenaikan gas oil ratio (GOR) dan kenaikan water cut yang menyebabkan loss production opportunity (LPO) cukup signifikan, yaitu sekitar 7.000 barel minyak per hari (BOPD). Sehingga produksi EMCL tidak lagi bertahan di 150 MBOPD.
Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas Hudi D. Suryodipuro mengatakan kenaikan GOR ini adalah kondisi rasio produksi gas semakin meningkat dibandingkan produksi minyak.
Sementara kenaikan water cut adalah kondisi dimana kandungan jumlah air terproduksi semakin tinggi dibandingkan dengan produksi minyak.
"Harus kami akui bahwa LPO di EMCL ini jumlahnya sangat signifikan, meskipun SKK Migas dan KKKS lain berusaha untuk melakukan optimasi produksi dari kegiatan pemboran, workover dan well service," kata Hudi melalui siaran pers, dikutip Jumat (9/8).
“Namun kontribusi yang diperoleh belum dapat menutup secara langsung gap penurunan produksi di EMCL,” ujarnya menambahkan.
Oleh sebab itu, Hudi menyebut SKK Migas memberikan perhatian khusus kepada lapangan Banyu Urip mengingat produksinya yang sangat besar.
“Apabila terjadi gangguan produksi baik karena kendala di permukaan (surface) maupun di bawah permukaan (subsurface), langsung berdampak sangat signifikan pada produksi Indonesia,” ujarnya.
Disaat yang bersamaan, perkembangan proyek Banyu Urip Infill Classic (BUIC) membuahkan hasil cukup baik sehingga diperkirakan dalam waktu dekat akan onstream satu sumur yaitu B13 yang berpotensi memproduksi 10 ribu BOPD.
Proyek ini diharapkan akan meningkatkan produksi minyak di Banyu Urip dan produksi Nasional secara keseluruhan.
“Minyak ini sangat berarti karena produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan sehingga harus impor. Kami beranggapan setetes minyak saat berarti bagi negara, sehingga upaya-upaya meningkatkan produksi minyak terus dilakukan oleh SKK Migas dan KKKS,” ucapnya.