Lima produk ekspor Indonesia kembali mendapatkan kembali fasilitas insentif tarif preferensial umum (Generalized System of Preference/GSP) dari Amerika Serikat (AS). Hal itu diketahui berdasarkan informasi yang disampaikan United States Trade Representative (USTR) melalui laman resminya https://ustr.gov.
Kelima produk tersebut adalah plywood bambu laminasi (HS 44121005); plywood kayu tipis kurang dari 66 mm (HS 44123141155); bawang bombai kering
(HS 09082220); sirup gula, madu buatan, dan karamel (HS 17029052); serta barang rotan khusus untuk kerajinan tangan (HS 46021223).
GSP merupakan program unilateral Pemerintah AS berupa pembebasan tarif bea masuk ke pasar AS.
(Baca: Ancaman Baru Fasilitas Dagang Amerika untuk Indonesia)
Menteri Perdagangan Agus Suparmanto mengatakan, diperolehnya kembali fasilitas GSP tersebut menurutnya tak terlepas dari submisi tertulis yang disampaikan Pemerintah RI melalui Kemendag.
"Selain itu, pemerintah RI yang diwakili Atase Perdagangan juga hadir dalam dengar pendapat di Washington D.C. guna memberikan pembelaan bagi produk-produk Indonesia yang dinilai layak oleh AS untuk mendapatkan GSP,” ujar Agus dalam keterangan resmi, Kamis (31/10).
Dia juga menyatakan, USTR melalui Komisi Perdagangan Internasional AS (United States International Trade Commission/USITC) telah melakukan penilaian terhadap produk ekspor yangmendapatkan fasilitas GSP sejak April 2019.
Tak hanya Indonesia, proses penilaian dilakukan terhadap negara-negara mitra AS seperti Pakistan, Thailand, Brasil, Ekuador serta Brasil.
(Baca: Setelah India, Fasilitas Dagang untuk Indonesia Berpotensi Dicabut AS)
Agus menyebut, pada awalnya AS melakukan penilaian terhadap enam produk ekspor asal Indonesia. Namun, dari enam komoditas Indoneia, hanya produk asam stearat (HS 38231100) yang tidak mendapatkan tarif preferensi. Sebab, nilai ekspor produk tersebut dianggap telah melebihi batas ketentuan kompetitif (competitive needs limitations/CNL).
Artinya, produk asam stereat dinilai sudah berdaya saing dan memiliki pangsa pasar yang cukup baik di pasar AS sehingga tidak perlu lagi mendapatkan perlakuan khusus.
Lebih lanjut, Agus juga menjelaskan, fasilitas GSP merupakan salah satu isu prioritas dalam hubungan dagang dengan Negeri Paman Sam.
“Pemanfaatan skema ini membuka peluang yang sangat besar bagi peningkatan ekspor Indonesia ke AS,” ujar Agus.
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Intenasional Iman Pambagyo menambahkan, pemerintah berharap fasilitas GSP ini bisa dimanfaatkan dengan maksimal.
Kemendag mencatat, saat ini, pemanfaatan tarif preferensi GSP oleh para pelaku usaha baru sekitar 836 produk dari total 3.572 produk. "Karenanya pemerintah berharap, semakin banyak pelaku usaha mengekspor produk-produk yang masuk
dalam skema GSP,” ujar Iman.
Produk ekspor utama Indonesia yang diekspor ke AS menggunakan skema GSP adalah ban mobil (US$ 138 juta), kalung emas (US$ 126,6 juta), asam lemak (US$ 102,3 juta), tas tangan dari kulit(US$ 4,8 juta), dan aksesori perhiasan (US$ 69 juta).
Pada 2018, ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat sebanyak US$ 2,13 miliar dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$ 18,4 miliar.
(Baca: AS Kembali Panggil Indonesia Terkait Fasilitas Khusus Bea Masuk GSP)
Pada Januari-Desember 2018, Indonesia bisa menghemat sebanyak US$ 101,8 juta melalui pemanfaatan GSP. Jumlah ini meningkat sebesar US$ 23 juta atau 29% dibandingkan 2017 yang tercatat sebesar US$ 78,8 juta.
Saat ini, Pemerintah AS memberikan fasilitas GSP kepada 121 negara dengan total 5.062 postarif 8-digit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.572 pos tarif Indonesia mendapatkan fasilitas GSP.
Program ini bertujuan membantu produsen AS mendapatkan produk yang dibutuhkan untuk produksi mereka. Pada saat yang sama, pemberian program ini sekaligus mendorong ekspor negara-negara berkembang ke pasar AS.
Sejak April 2018, pemerintah AS mengkaji eligibilitas negara penerima GSP. Dalam Federal Register Vol. 83 tanggal 27 April 2018, AS menginisiasi GSP Country Practice Review terhadap Indonesia, India, dan Kazakhstan.
Pemerintah Indonesia secara konsisten terus melakukan berbagai upaya
dan pendekatan ke Pemerintah AS agar program ini tetap berlaku bagi Indonesia.