Industri sawit dalam negeri menghadapi berbagai tantangan sepanjang kuartal I 2019. Meski begitu, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menyatakan ekspor minyak sawit, berupa minyak sawit mentah (CPO), biodiesel, oleochemical, dan produk turunannya, mampu mencapai 9,1 juta ton pada kuartal I 2019, tumbuh 16% secara tahunan.
Direktur Eksekutif Gapki Mukti Sardjono mengatakan industri kelapa sawit menghadapi tantangan baik dari dalam maupun luar negeri. Pada awal tahun, industri sawit diadang diskriminasi sawit Uni Eropa melalui rencana penerapan Renewable Energy Directive II (RED II).
Kebijakan ini akan menghapus penggunaan biodiesel berbasis sawit karena minyak sawit digolongkan sebagai beresiko tinggi terhadap deforestasi (ILUC – Indirect Land Used Change) sedangkan minyak nabati lain digolongkan beresiko rendah.
(Baca: Di Tengah Isu Diskriminasi Sawit, Ekspor CPO ke Eropa Masih Naik 27 %)
Dia menyebut, sentimen RED II Uni Eropa sedikit banyak turut menggerus kinerja ekspor Indonesia. Belum lagi dengan lesunya perekonomian di negara tujuan utama ekspor khususnya India, yang berdampak signifikan terhadap permintaan minyak sawit negara tersebut.
"Perang dagang Amerika Serikat dan Tiongkok ikut mempengaruhi perdagangan kedelai kedua negara yang berujung pada menumpuknya stok kedelai di AS," ujarnya dalam keterangan resmi, Kamis (16/5).
Sedangkan di dalam negeri, Mukti mengatakan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terus menekan industri untuk keterbukaan informasi tentang hak guna usaha (HGU). Ditambah, industri masih dibayangi kekhawatiran tren harga CPO global yang terus menurun.
Sepanjang Maret, harga CPO global tercatat masih melemah, yakni di kisaran US$ 510 – US$ 550 per metrik ton dengan harga rata-rata US$ 528,4 per metrik ton. Harga rata-rata ini tergerus 5% dibandingkan harga rata-rata Februari US$ 556,5 per metrik ton.
Pada Maret 2019, Gapki mencatat ekspor CPO dan turunannya dari Indonesia ke India anjlok 62% menjadi 194,41 ribu ton, dibandingkan 516,53 ribu ton per Februari.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi India yang hampir memasuki ambang krisis disinyalir menyebabkan permintaan minyak sawit India baik dari Indonesia maupun Malaysia menurun. Penurunan permintaan juga diikuti negara Afrika 38%, Amerika Serikat 10%, Tiongkok 4% dan Uni Eropa 2%.
Di tengah berbagai tantangan tersebut, di luar dugaan, ekspor minyak sawit ke negara lain naik 60% dibandingkan bulan sebelumnya. Peningkatan permintaan CPO dan produk turunannya dari Indonesia yang cukup signifikan datang dari Asia khususnya Korea Selatan, Jepang dan Malaysia.
(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah Akan Tempuh Jalur Hukum Lawan Uni Eropa)
"Dengan beragam tantangan tersebut, ekspor minyak sawit Indonesia masih tetap tumbuh meskipun masih di bawah harapan," ujar Mukti.
Di sisi lain, penyerapan biodiesel di dalam negeri tercatat turun. Sepanjang Maret lalu penyerapan biodiesel di dalam negeri mencapai lebih dari 527 ribu ton atau turun 19% dibandingkan Februari lalu sebesar 648 ribu ton. "Turunnya penyerapan biodiesel disinyalir karena keterlambatan permintaan dari Pertamina. Sehingga pengiriman ke titik penyaluran ikut terlambat," ujarnya.
Kinerja Ekspor Nonmigas Turun
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, secara kumulatif, nilai ekspor Indonesia Januari–April 2019 mencapai US$ 53,20 miliar, turun 9,39% dibandingkan periode sama tahun lalu. Secara khusus, ekspor nonmigas mencapai US$48,98 miliar atau menurun 8,54%.
Berdasarkan sektor, ekspor nonmigas hasil industri pengolahan Januari–April 2019 turun 7,83% dibandingkan periode sama tahun lalu, demikian juga ekspor hasil tambang dan lainnya turun 12,26%, sedangkan ekspor hasil pertanian turun 3,29%. "Tantangan perekonomian global tahun ini semakin sulit," kata Mukti.
Karena itu, dia menilai pemerintah perlu melakukan sejumlah upaya penguatan ekspor serta menekan impor. "Subtitusi produk dalam negeri penting dilakukan untuk menekan impor," ujarnya.
(Baca: Pertengahan Mei, Aturan Diskriminasi Sawit dari Uni Eropa Berlaku)
Kendati dibayangi ketidakpastian global, Kementerian Perdagangan sebelumnya menaikkan target pertumbuhan ekspor nonmigas tahun ini menjadi 8% atau sebesar US$ 175,8 miliar dari sebelumnya dipatok tumbuh 7,5%. Peningkatan ini diharapkan seiring bertambahnya akses pasar dan ekspor produk industri olahan.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan target itu diharapkan bisa dicapai dengan peningkatan kapasitas industri. "Selain itu, Kementerian juga akan melakukan percepatan perjanjian dagang," kata Enggar.