Kebijakan diskriminasi minyak kelapa sawit di Uni Eropa berbuntut panjang. Setelah Indonesia memprotes keras upaya Benua Biru, kini giliran Malaysia yang menyatakan kemungkinannya menggagalkan pembelian pesawat jet asal Prancis dan menggantinya dengan jet tempur produksi Tiongkok.
Melansir laman media Malaysia Bernama.com, negara penghasil sawit kedua terbesar dunia ini mengatakan pemerintah Malaysia akan memperingatkan Uni Eropa bahwa pihaknya siap membalas jika minyak sawit terus dilarang masuk kawasan tersebut.
(Baca: Pengusaha Dukung Upaya Pemerintah Gugat Diskriminasi Sawit Uni Eropa)
Malaysia saat ini berencana meremajakan pesawat tempur Rusia Mig-22 dan menggantinya dengan pesawat jet Rafale dari Perancis atau Eurofighter Typhoon.
"Jika mereka terus mengambil tindakan terhadap kami (melarang minyak kelapa sawit), Kami akan berpikir untuk membeli pesawat terbang dari Tiongkok atau negara lain," katanya Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad dalam konferensi Pers, Minggu (24/3).
Namun demikian, Mahathir menekankan bahwa Malaysia tidak menyatakan perang terhadap Uni Eropa karena negara tersebut masih membutuhkan barang dari Benua Biru. Terlebih, Uni Eropa merupakan salah satu mitra dagang terbesar Malaysia.
Karena itu, Mahatir mengatakan tindakan apa pun untuk mengurangi atau menghentikan impor dari Uni Eropa tidak akan dilakukan secara terburu-buru, melainkan harus dipelajari terlebih dahulu dampaknya.
Menurut catatannya, kampanye anti-sawit oleh negara-negara Eropa akan berdampak pada ekspor minyak sawit Malaysia, meskipun kawasan itu bukanlah kontributor terbesar.
"Sentimen anti-kelapa sawit di Eropa terhadap Malaysia sangat kuat.. ekspor komoditas (dari Malaysia) akan terpengaruh meskipun mereka bukan pasar terbesar kami," katanya.
(Baca: Diskriminasi Sawit, Pemerintah akan Tempuh Jalur Hukum Lawan Uni Eropa)
Parlemen Eropa dilaporkan sedang dalam proses pelarangan penggunaan minyak sawit untuk biofuel sementara jaringan ritel di Inggris dan Islandia telah mengumumkan bahwa mereka akan berhenti menggunakan komoditas tersebut.
Sebelumnya, dalam pidatonya, Mahathir menyatakan kekecewaannya terhadap produsen makanan Eropa yang telah melabeli produk mereka 'No Palm Oil'. Ini menggambarkannya sebagai upaya propaganda untuk melindungi pasar mereka.
"Mereka tidak memperhatikan pekerja (Malaysia) di perkebunan kelapa sawit. Kami memiliki sekitar 600.000 karyawan yang akan kehilangan pekerjaan jika perkebunan kelapa sawit ditutup," katanya.
Klaim oleh negara-negara Eropa bahwa budidaya kelapa sawit akan memengaruhi hutan dan satwa liar seperti harimau, gajah, dan Orang Utan tidak benar.
Dia juga membantah tuduhan bahwa minyak sawit beracun, mengatakan upaya untuk menunjukkan bahwa minyak sawit yang seharusnya tidak dimasukkan ke dalam makanan tidak dapat diterima. Sebab, untuk mengendalikan pasar minyak nabati negara Eropa kerap membuat tuduhan bahwa minyak sawit berbahaya untuk dikonsumsi dan tidak sehat.
Perlawanan Indonesia
Senada dengan kekhawatiran Malaysia, Indonesia juga tengah menyusun sejumlah langkah perlawanan untuk mengatasi kebijakan pelarangan sawit Uni Eropa.
Persiapan ini dilakukan seiring Sidang Parlemen Uni Eropa yang berlangsung mulai hari ini, Senin (25/3) hingga Kamis (28/3) mendatang.
"Jadi ini langkahnya sudah mengarah ke litigasi, bukan diplomasi," kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan usai rapat koordinasi di Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Senin (25/3).
(Baca: Diskriminasi Sawit, RI Duga Uni Eropa Ingin Tekan Defisit Dagang)
Rapat tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian Darmin Nasution. Ia mengundang sejumlah pejabat kementerian dan lembaga (k/l) serta pengusaha untuk membahas masalah ini dalam jadwal terpisah. Perlawanan tersebut akan kemungkinan akan dilakukan secara paralel. Sementara pemerintah menggugat melalui World Trade Organization (WTO), perusahaan dan asosiasi dapat melalui court of justice.
Pemerintah mengantisipasi jika nantinya Parlemen Eropa menyetujui rancangan kebijakan bertajuk Delegated Regulation Supplementing Directive of The EU Renewable Energy Directive (RED) II yang diajukan oleh Komisi Eropa pada 13 Maret 2019 lalu.
Oke memastikan pemerintah sepakat untuk tidak tinggal diam terhadap langkah diskriminatif Uni Eropa. Apalagi, sebelumnya Indonesia pernah memenangkan gugatan dalam kasus dumping dengan Uni Eropa.
Saat ini, lanjut Oke, pemerintah tengah menyusun beberapa strategi untuk perlawanan tersebut. "Kami juga belum memutuskan, kalau menggugat, kami akan menggunakan lawfirm apa dan lawfirm yang basisnya di mana. Masih berproses," ujarnya.