Perang Dagang dengan Tiongkok Mereda, AS Siap Bermusuhan dengan India

ANTARA FOTO/REUTERS/Kevin Lamarque/File Foto
Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bertemu dengan Presiden China Xi Jinping. Setelah meredanya hubungan dengan Tiongkok, hubungan AS dengan India tegang.
Penulis: Ekarina
Editor: Yuliawati
6/3/2019, 16.00 WIB

Perang dagang Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok diperkirakan bakal mereda seiring kedua negara akan menggelar kesepakatan dagang pada 27 Maret mendatang. Hubungan kedua negara yang membaik, tak otomatis menghentikan perang dagang. AS berpotensi memiliki musuh dagang baru yakni dengan India. 

Tiongkok dan AS, menurut CNN.com,  telah dalam tahap akhir kesepakatan. Poin kesepakatan di antaranya Tiongkok bersedia menurunkan tarif atas berbagai produk AS,  asalkan Presiden AS Donald Trump menghapus sanksi terhadap Tiongkok. Kesepakatan perdagangan lainnya mengenai pengenaan tarif Tiongkok yang lebih rendah untuk produk pertanian, kimia, dan mobil AS, serta penghapusan atas hambatan untuk investasi asing.

Selain itu, Tiongkok akan membeli lebih banyak produk AS dalam upaya untuk mempersempit defisit perdagangan AS. (Baca: Efek Negosiasi AS-Tiongkok, Permintaan Sawit Tahun Ini Bakal Turun)

Seiring hubungan dengan Tiongkok mereda, Trump membuat gebrakan yang diprediksikan bakal membuat hubungan dagang Amerika-India memanas.

Dikutip dari laporan Reuters, Trump pada Senin (5/2) waktu setempat membuka wacana baru akan mengakhiri fasilitas Generalized of Preferences (GSP) untuk India. Selama ini dengan fasilitas tersebut membuat India menikmati bebas pajak untuk ekspor produknya ke AS senilai US$ 5,6 miliar.

Potensi Perang Dagang AS dan India

Sebelum munculnya pencabutan fasilitas GSP, hubungan dagang antara India dan Amerika Serikat mulai merenggang. Pemicunya aturan India tentang e-commerce yang membatasi peretail online Amazon.com Inc. dan Flipkart - yang didukung Walmart Inc. - dalam menjalankan bisnisnya di Negeri Bollywood.

(Baca: Mendag Sebut Brexit dan Perang Dagang Ganggu Stabilitas Ekonomi Dunia)

India juga dianggap merugikan AS dengan memaksa perusahaan pembayaran kartu global Mastercard Inc. dan Visa Inc. untuk memindahkan data ke India. Selain itu India juga mengenakan tarif yang lebih tinggi pada produk elektronik dan smartphone. Berbagai kebijakan itu membuat Trump berulang kali memprotes India. 

"Saya mengambil langkah ini (penghapusan GSP) setelah keterlibatan intensif antara Amerika Serikat dan pemerintah India. Saya telah menentukan bahwa India belum meyakinkan Amerika Serikat bahwa itu akan memberikan akses yang adil dan masuk akal ke pasar India," kata Trump dalam suratnya kepada pemimpin kongres, seperti yang dikutip dari Reuters.

Menyikapi ancaman Trump, India berupaya meredam ketegangan hubungan dengan AS. India berjanji akan menghindari pemberian tarif balasan dan akan merundingkan dengan pihak AS. Namun, ada pula kekhawatiran masalah ini dapat dimanfaatkan oleh pihak oposisi untuk menyerang Perdana Menteri Narendra Modi menjelang pemilihan umum tahun ini.

"Diskusi dengan AS saat ini sedang berlangsung, dan kami juga memiliki hubungan yang kuat dan ramah, (kami) pun menghindari tarif pembalasan dari itu," kata Menteri Perdagangan Anup Wadhawan di New Delhi.

(Baca: Jokowi Minta Para Menteri Antisipasi Dinamika Ekonomi Global)

Anup juga menyebut bahwa fasilitas istimewa itu hanya memberikan keuntungan aktual sebesar US$ 190 juta bagi India. Dari 3.700 produk yang dicakup dalam fasilitas GSP, India hanya menggunakan konsesi hanya untuk 1.784 produk.

Sementara menurut catatan Reuters, India merupakan penerima manfaat terbesar di dunia dari GSP sejak 1970-an. Dengan berakhirnya fasilitas ini, akan menjadi pukulan berat bagi India.

Perwakilan Perdagangan AS (United States Trade Representative/USTR) mengatakan India telah gagal mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memenuhi kriteria GSP. USTR memperkirakan, AS mengalami defisit perdagangan barang dan jasa sebesar $ 27,3 miliar dengan India pada 2017.

Ekspor komoditas utama India yang mendapat fasilitas GSP ke Amerika Serikat pada 2017 di antaranya suku cadang kendaraan bermotor, paduan ferro, perhiasan logam mulia, batu bangunan, kabel dan kabel berinsulasi.

Efek Bagi Perdagangan Indonesia

Mencuatnya konflik dagang AS-India diperkirakan akan memberikan tekanan kepada Indonesia. Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan sepanjang 2019, kondisi perang dagang diperkirakan masih akan tetap memburuk karena AS meluaskan sasaran ke India dan Turki. Dua negara itu berperan penting bagi ekspor Indonesia. Porsi India maupun Turki mencapai 10% terhadap total ekspor.

Jika hubungan dagang AS-India terus memanas dan perang dagang terjadi, hal itu bisa ikut melemahkan kinerja ekspor Indonesia tahun ini. Menurutnya, pada 2018, ekspor ke India turun 2%, sementara Turki hanya naik tipis 1,11%. "Dampak terburuknya, defisit perdagangan dengan India berpotensi melebar dan menekan nilai tukar rupiah," kata Bhima kepada Katadata.co.id, Rabu (6/3).

Berdasarkan data BPS yang diolah Kementerian Perdagangan, sepanjang tahun lalu nilai perdagangan Indonesia-India mencapai US$ 18,7 miliar. Angka ini naik tipis 3,36% dari tahun sebelumnya sebesar US$ 18,1 miliar.

Adapun untuk total nilai ekspor Indonesia ke India turun 2,55% menjadi US$ 13,7 miliar dengan realisasi nilai impor yang tumbuh lebih tinggi sebesar 23,9% menjadi US$ 5,01 miliar. Alhasil, pada 2018 neraca perdagangan Indonesia dengan India minus 13,2%.

(Baca: Investor 'Wait and See' Perundingan AS-Tiongkok, IHSG Turun 0,14%)

Pemerintah dinilai perlu menyiapkan langkah antisipasi seiring memburuknya hubungan dagang AS-India. Pertama, mulai mengevaluasi seluruh industri bahan baku atau eksportir yang masuk dalam supply chain perdagangan ke India dan Turki. Kedua, mengirim tim negosiasi khusus ke AS dan India untuk mencari celah agar perang dagang AS-India tidak berpengaruh ke kenaikan tarif produk asal Indonesia.

"Langkah lainnya, Indonesia harus giat mencari pasar-pasar alternatif di luar negara yang menjadi target AS. Eropa Timur, Afrika Utara prospeknya masih butuh produk asal Indonesia baik otomotif, dan makanan minuman," ujarnya.

Sementara terkait meredanya hubungan dagang AS dengan Tiongkok, Bhima menuturkan kondisi tersebut bisa berdampak positif terhadap perbaikan harga komoditas khususnya komoditas energi. Selama terjadinya perang dagang kedua negara, Indonesia mengalami pukulan yang membuat defisit neraca  perdagangan terburuk sepanjang sejarah. 

(Baca juga: Trump: Kesepakatan Dagang Akan Segera Ditandatangani dengan Xi Jinping)

Potensi gejolak dunia yang berkelanjutan membuat pemerintah berhati-hati dalam menetapkan target pertumbuhan ekspor 2019 menjadi lebih moderat. Kementerian Perdagangan sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekspor nonmigas tahun ini tetap melaju di kisaran 7,5% menjadi US$ 175,9 miliar dari proyeksi ekspor nonmigas tahun lalu sebesar US$ 163,6 miliar.

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatakan pemerintah memasang target ekspor moderat di tengah tantangan ekonomi global dan domestik. "Terjadi perlambatan pada pertumbuhan ekonomi dunia, sehingga permintaan berkurang," kata Enggar di Jakarta, Kamis (10/1).

Menurutnya, perekonomian global saat ini hanya tumbuh 3,7%, sementara volume perdagangan dunia hanya meningkat 4%. Demikian halnya dengan proyeksi impor negara maju hanya tumbuh 4% dan negara berkembang naik 4,8%.

Selain perlambatan ekonomi, faktor lain yang menjadi pertimbangan target ekspor adalah harga komoditas nonmigas yang prediksi akan menguat. Indonesia masih bergantung pada komoditas berbasi alam seperti minyak sawit, karet, kopi, kakao, teh, udang, serta kayu gergaji untuk menambah devisa negara.

Di luar itu, pemerintah juga tengah berupaya mendorong ekspor komoditas berbasis industri, contohnya batu bara, besi baja, kendaraan bermotor, produk kimia, plastik, pakaian jadi, serta barang dari kayu.

(Baca: Ekspor Melambat, Neraca Dagang Kuartal I 2019 Diramal Defisit US$ 3 M)