Selain itu, kebijaksanaan pelaksanaan untuk legislasi RED II ke dalam aturan tiap negara Uni-Eropa juga seharusnya terbit pada 1 Februari 2019. "Kelihatannya itu ditunda," kata Mahendra lagi.
(Baca: Diserang Isu Negatif, Luhut Bela Sawit RI di Forum Ekonomi Dunia)
Berdasarkan laman resmi Uni-Eropa, tak ada referensi spesifik untuk pelarangan minyak kelapa sawit dalam RED II. Uni-Eropa mengaku masih membuka keran impor sawit sebagai pasar terbesar kedua sawit pada 2017.
Dalam laporan itu, Komisi Eropa sepakat untuk mengadopsi pelaksanaan kebijakan berdasarkan sertifikat metodologi ILUC. Seharusnya, negara anggota Uni-Eropa bakal menerapkan kebijakan 18 bulan setelah elemen penggunaan energi terbarukan masuk ke dalam aturan.
Sementara itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menjelaskan metodologi ILUC tak mampu membuktikan kelapa sawit memiliki risiko tinggi dalam deforestasi. Dia mempertanyakan minyak nabati lain memiliki risiko yang rendah terhadap deforestasi, tetapi tanpa bukti ilmiah.
Meski implentasi RED II mengalami penundaan, Uni-Eropa terus mendiskriminasi produk kelapa sawit Indonesia melalui hambatan dagang yang terus meningkat, seperti melalui pembatasan dalam RED I, tuduhan antidumping di WTO hingga RED II. "Faktanya, produk sawit memenuhi syarat, ekspor bisa masuk ke Eropa dan diterima di pasar internasional," ujarnya.
Dia meminta pihak pelaku usaha kelapa sawit bisa membalas tudingan negatif Uni Eropa dengan egosiasi yang berdasarkan data-data ilmiah. Sebab, RED II berpotensi menurunkan volume ekspor kelapa sawit atau produk turunannya seperti biodiesel ke Uni-Eropa.