Kalangan ekonom menilai tidak ada alasan kuat yang melatarbelakangi tingginya kenaikan impor nonmigas pada 2018. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat surplus nonmigas hanya US$ 3,87 miliar, lantaran impor naik 19,71 persen sedangkan ekspor tumbuh tipis 6,25 persen.

Alhasil, neraca perdagangan tahun lalu defisit terbesar sepanjang sejarah mencapai US$ 8,57 miliar. Selain surplus nonmigas minim, kinerja perdagangan juga terkendala neraca migas yang defisit mencapai US$ 12,40 miliar.

Ekonom Senior Faisal Basri menyorot laju kenaikan impor nonmigas yang terlalu tinggi. "Pertumbuhan ekonomi tidak beranjak dari kisaran 5 persen sehingga tidak ada alasan kuat impor melonjak," mengutip analisis dalam laman daring pribadinya, Rabu (16/1).

(Baca juga: Dua Fokus Kebijakan Ekspor untuk Tekan Defisit Neraca Dagang

Tahun lalu, impor nonmigas US$ 158,82 miliar setara 84,20 persen dari total impor yang berjumlah US$ 188,63 miliar. Porsi impor berdasarkan tujuan penggunaan barang, yaitu bahan baku penolong (75,01 persen), barang modal (15,88 persen), dan barang konsumsi (9,11 persen).

Terdapat tiga komoditas impor yang porsinya mencapai 37,02 persen dari keseluruhan nilai impor. Perinciannya ialah mesin dan pesawat mekanik US$ 27,19 miliar, mesin dan peralatan listrik US$ 21,44 miliar, serta besi dan baja US$ 10,24 miliar. (Baca juga: Neraca Dagang Jebol, Lingkungan Dekat Jokowi Ditengarai Berperan

Center of Reform on Economics (CORE) menyatakan, tak hanya rupiah yang mendorong lonjakan impor tetapi juga tingginya kebutuhan domestik. "Peningkatan permintaan belum mampu diimbangi dengan produksi dalam negeri," mengutip keterangan resmi CORE.

Halaman:
Reporter: Michael Reily