Pemerintah telah mengeluarkan regulasi baru untuk pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang membuat Bulog mampu membeli beras di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Namun pengamat justru menilai kebijakan itu nantinya bisa menjadi pedang bermata dua karena ada sejumkah konsekuensi di balik untung-rugi yang akan dinikmati Bulog.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor Dwi Andreas Santosa menyatakan penugasan pemerintah kepada Bulog harus melalui kajian tepat sesuai stok dan harga pasar. "Kalau tidak hati-hati, kebijakan bisa menjadi pedang bermata dua," kata Dwi kepada Katadata.co.id lewat sambungan telepon dari Jerman, Kamis (29/11).
Dia mengungkapkan, ketika bukan panen raya, harga beras bakal meningkat sehingga aturan baru memperbolehkan Bulog membeli beras di atas HPP. Nantinya, Bulog akan menjual beras itu dalam jangka waktu maksimal 4 bulan sehingga pemerintah tinggal mengganti biaya dari selisih harga beli awal.
(Baca: Skema Pengelolaan Beras Baru, Bulog: Kinerja Kami Jadi Lebih Fleksibel)
Dengan skema itu, maka bakal menguntungkan petani karena Bulog bisa membeli harga beras tanpa terkendala harga acuan dalam Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2015. Sebab, dengan kapasitas Bulog saat ini, perusahaan akan menghadapi persaingan pasar lebih tinggi dibandingkan dengan pengusaha besar swasta.
Padahal Bulog memiliki kemampuan untuk melakukan pembelian, didukung dengan gudang penyimpanan sebesar 4 juta ton. "Itu hampir 10 kali lipat pedagang besar di Indonesia, persaingan pasar akan semakin ketat yang menyebabkan harga terdongkrak sehingga petani untung," ujar Dwi.
Apalagi, Bulog bisa mengontrol harga jual di tingkat konsumen yang lebih rendah daripada pembelian. Sehingga, pemerintah mampu mengendalikan inflasi dari harga beras. Sayangnya, hal itu bisa saja merugikan petani jika terjadi pada musim panen ketika pasokan melimpah.
Namun peran Bulog untuk menjual harga lebih rendah bakal membuat harga merosot ketika panen raya. Dengan ekuilibrium harga pasar yang rendah, dikhawatirkan nantinya bisa membuat keuntungan petani turut tertekan.
(Baca: Bulog Beli Beras di Atas Harga Acuan, Darmin: Harus Siap Hadapi BPK)
Pada musim panen raya, petani bisa saja tak mendapatkan untung dari anjloknya harga karena pengelolaan CBP mengabaikan Inpres 5/2015 yang harusnya jadi instrumen perlindungan petani. "Kalau Bulog harus jual di bawah hukum ekonomi, otomatis produsen akan rugi meski konsumen tetap terlindungi," kata Dwi.
Untuk itu, dia pun meminta pemerintah untuk mencermati dampak terhadap penggilingan kecil yang tak mampu bersaing dengan daya beli Bulog. Kapasitas Bulog yang mencapai 4 juta ton atau sekitar 15% dari total produksi beras nasional yang mencapai 32 juta ton, bisa membuat banyak pengusaha kecil tersingkir.
Dia juga mengusulkan agar pemerintah harus lebih tegas dalam memutuskan peran Bulog. Alasannya, Bulog masih menjadi operator perlindungan produksi petani dan stabilisasi harga konsumen. Meskipun ada fungsi perseroan yang harus terpenuhi dari perspektif bisnis.
"Pemerintah harus memperhatikan dampak masuknya Bulog ke dalam sistem perdagangan beras secara aktif. Aturan baru membuat Bulog lebih fleksibel dalam manajemen stok dan harga, tapi tata kelola beras itu harus sangat cermat," ujarnya.