Kementerian Perindustrian mendorong percepatan pembangunan Kawasan Industri Konawe di Sulawesi Tenggara dan Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah. Keduanya merupakan bagian program pengembangan basis industri logam.
Kawasan industri terpadu dengan lahan seluas 2.000 hektar tersebut akan menarik investasi sebesar Rp 78 triliun. Jumlah tenaga kerja langsung yang terserap sebanyak 20 ribu orang, dan tidak langsung mencapai 80 ribu orang. Pada masa konstruksi, penggunaan tenaga kerja asing juga cukup tinggi.
Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto mengatakan, penyerapan puluhan ribu tenaga kerja di kawasan yang dikelola oleh PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) ini akan terealisasi apabila pabrik stainless steel berkapasitas dua juta ton dan beberapa industri hilir lainnya telah beroperasi.
(Baca juga: Ada Political Framing Isu Tenaga Kerja Cina)
“Hingga Desember 2016, kebutuhan tenaga kerja pelaksana di kawasan industri ini mencapai 11.257 orang dan untuk tenaga kerja level supervisor atau engineer sebanyak 1.577 orang,” katanya melalui siaran pers, Kamis (12/1/2017).
Terkait adanya tenaga kerja asing, Airlangga menjelaskan, itu diperlukan mengingat teknologi yang dipakai di industri smelter dibawa langsung oleh investor negara asal.
Ia juga menegaskan, tenaga kerja asing di industri smelter ini bersifat sementara, terutama hanya saat pembangunan proyek. “Pada masa konstruksi, perbandingannya untuk tenaga kerja Indonesia 60 persen dan tenaga kerja asing 40 persen,” ujarnya.
Sektor Pekerjaan Tenaga Kerja Cina di Indonesia hingga November 2016
Setelah konstruksi, komposisi tenaga kerja asing akan mulai berkurang saat smelter beroperasi di tahun pertama menjadi 35 persen. Sementara pada tahun kelima perusahaan beroperasi, dipastikan porsi tenaga kerja asing tinggal 15 persen. “Jadi tenaga kerja asing tidak bekerja di Indonesia selamanya,” kata Airlangga.
(Baca juga: Serbuan Pekerja Cina, Rumor dan Fakta)
Ia juga menyatakan, Kawasan Industri Morowali turut mendorong langkah pemerintah dalam program hilirisasi yang bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah bahan baku mineral di dalam negeri. “Oleh karena itu, di kawasan ini difokuskan pada pembangunan industri pengolahan dan pemurnian mineral logam atau smelter dengan bahan dasar nikel,” ujarnya.
Airlangga yang baru Rabu lalu berkunjung ke Morowali menyatakan bahwa di kawasan industri tersebut telah beroperasi industri smelter feronikel PT Sulawesi Mining Investment yang berkapasitas 300 ribu ton per tahun sejak Januari 2015.
Selanjutnya, sejak Januari 2016, telah beroperasi industri smelter feronikel PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Steel Industry dengan kapasitas 600 ribu ton per tahun dan didukung oleh satu unit PLTU berkapasitas 2x150 MW. Pada awal 2016, perusahaan mencatatkan produksi sebanyak 193.806 ton.
(Baca juga: Jokowi Teken Aturan Izin Ekspor Mineral dengan Tiga Syarat)
Selain itu, terdapat pula industri smelter feronikel PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel dengan target kapasitas 600.000 ton per tahun dan stainless steel sebanyak 1 juta ton per tahun yang tahap pembangunannya saat ini mencapai 60 persen.
“PT. Indonesia Ruipu Nickel and Chrome yang merupakan smelter Chrome juga masih dalam tahap pembangunan dengan progres 60 persen dan diharapkan pada awal tahun 2018 pabrik ini dapat mulai berproduksi,” ujarnya.
Industri smelter lainnya, yakni PT. Broly Nickel Industry Pabrik Hidrometalurgi dengan kapasitas 2.000 ton per tahun, yang akan dikembangkan menjadi 8 ribu ton per tahun nikel murni sedang dalam uji coba produksi.
(Baca juga: Bahayakan Jokowi, Ada 2 Solusi Agar Ekspor Mineral Tak Langgar UU)
Kementerian Perindustrian mencatat terdapat 22 industri smelter yang telah bergabung dengan Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) dan 75 persen telah beroperasi secara komersial. Total invetasi smelter tersebut telah mencapai US$ 12 miliar dan menyerap tenaga kerja sebanyak 28.000 orang