Pengusaha Yakin Omnibus Law Bisa Kerek Daya Saing

ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah/wsj.
Sejumlah pekerja beraktivitas di Pabrik Garmen. Pengusaha lintas sektpr mendukung penuh pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.
Penulis: Ekarina
7/10/2020, 14.00 WIB

Pengusaha dari berbagai sektor kompak mendukung pengesahan Undang-undang (UU) Omnibus Law Cipta Kerja di tengah penolakan masyarakat dan buruh. Pengusaha berdalih, aturan ini memberi kemudahan berusaha dan meningkatkan daya saing industri dengan negara lain.

Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan menyambut baik pengesahan omnibus law cipta kerja. Aturan ini, diharapkan memperbaiki ketidakpastian regulasi yang dibutuhkan dalam menarik investasi dan mendukung pertumbuhan ekonomi.

Selain itu, aturan yang menyangkut kemudahan berusaha juga diharapkan mendorong iklim usaha dalam negeri semakin berdaya saing dengan pemain luar.

Terkait pro-kontra aturan ini, Shinta menyebut pada prosesnya regulasi ini sudah dibahas secara tripartit dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holder) terkait. "Meski memang keputusannya tidak bisa memuaskan semua pihak," kata dia kepada katadata.co.id, Selasa (7/10). 

Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprinsindo) mengungkap hal senada. Direktur Industri sepatu dan alas kaki memiliki capaian positif selama pandemi dan menjadi andalan Indonesia.

Sepanjang Januari-September 2020, ekspor sepatu masih mampu tumbuh 8%. Meski begitu, kenaikan ekspor tersebut diklaim belum mampu menggeser dominasi ekspor sepatu Vietam atau Tiongkok.

"Untuk itu UU Cipta Kerja penting dalam mengakseslerasi pertumbuhan industri industri alas kaki, khususnya mengejar negara-negara pesaing utama," kata Ketua Umum Aprisindo, Eddy Widjanarko.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Aprisindo Firman Bakri berharap, UU ini bisa menjadi jalan tengah dan solusi yang sama-sama menguntungkan pengusaha dan pekerja.

"Aturan ini diharapkan mampu mendorong investasi dan membuka kesempatan kerja yang lebih luas," katanya kepada katadata.co.id. 

Dia juga meminta aturan ini dipahami, bahwa pihak yang menyediakan kesejahteraan kini bukan hanya domain pengusaha tapi juga pemerintah, lewat aspek kesehatan dan pendidikan gratis.

Sedangkan Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan Minuman Indonesia (Gapmmi) menilai, meski menuai banyak kontroversi, aturan ini seharusnya bisa diilihat secara global dampaknya.

Dia keseluruhan, pihaknya mendukung terbitnya aturan tersebut. Ada beberapa aspek yang memberi angin segar bagi pengusaha, seperti kemudahan investasi dan usaha, sertifikat halal dan UMKM.

"Harus dilihat secara umum, apalagi kita bersaing ketat saat ini dengan Vietnam. Oleh karena itu, kita harus lebih mampu menarik investasi dibanding mereka, serta membuka lapangan kerja," katanya kepada katadata.co.id.

Pasal Pendukung Daya Saing

UU Cipta Kerja mencakup perubahan dan penyederhanaan terhadap 79 UU dan 1.203 pasal. Aturan sapu jagat ini berisi 15 bab dan 186 Pasal yang terdiri dari 905 halaman. Dalam penjelasannya, aturan ini keluar demi penyerapan tenaga kerja di tengah persaingan yang semakin kompetitif.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto sebelumnya mengatakan pelaku usaha akan mendapat manfaat seperti kemudahaan dan kepastian usaha. Kemudian insentif dan kemudahan dalam bentuk fiskal atau kepastian pelayanan dalam rangka investasi.

"Adanya ruang kegiatan usaha yang lebih luas, agar investasi bisa masuk dengan mengacu kepada bidang usaha yang diprioritaskan Pemerintah," kata Airlangga dalam keterangannya Selasa (6/10).

Pengusaha juga akan mendapat jaminan perlindungan hukum dengan penerapan ultimum remedium yang berkaitan dengan sanksi. Pelanggaran administrasi hanya dikenakan sanksi administrasi.

Sedangkan pelanggaran yang menimbulkan K3L (Keselamatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan) akan dikenakan sanksi pidana. Airlangga mengatakan UU Cipta Kerja dapat menarik minat investor asing masuk ke Indonesia.

Sebelumnya disebutkan ada 143 perusahaan yang berencana merelokasi investasinya ke Indonesia, dari Amerika Serikat, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Tiongkok. Untuk menangkap peluang relokasi tersebut, diperlukan peningkatan iklim investasi dan daya saing Indonesia.

Untuk investasi dan kegiatan usaha diatur dalam Bab III UU Cipta Kerja. Pasal 6 menjelaskan peningkatan investasi ini meliputi kemudahan izin usaha; penyederhanaan persyaratan dasar perizinan usaha, pengadaan lahan, dan pemanfaatan lahan, penyederhanaan persyaratan investasi.

UU Cipta Kerja mempermudah perizinan usaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi berbasis risiko dan skala usaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7 BAB III. Tingkat risiko adalah potensi terjadinya bahaya terhadap kesehatan hingga lingkungan.

Untuk bisnis berisiko rendah perizinan usaha hanya cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB). Bisnis berisiko menengah izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan yang berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai usaha.

Pada pasal berikutnya menyebutkan penghapusan izin lokasi dengan kesesuaian tata ruang. Kemudian integrasi persetujuan lingkungan dalam izin berusaha. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya untuk kegiatan usaha berisiko tinggi terhadap lingkungan.

UU Ciptaker juga menghapus syarat investasi yang ada dalam UU sektor, dan memindahkannya ke dalam Peraturan Presiden Daftar Prioritas Investasi.

Selama ini rumitnya masalah perizin usaha dan birokrasi di Indonesia kerap menghambat investor untuk menanamkan modal atau berekspansi  di Indonesia.

Peringkat kemudahan berusaha (ease of doing bussines/EoDB) Indonesia 2020 stagnan dibanding tahun sebelumnya yakni posisi ke-73 dari 190 negara. Angkaini masih jauh dari target Presiden Jokowi yang mematok kemudahan berusaha di peringkat 40.

Dalam laporan yang dirilis Bank Dunia ini, Indonesia masih tertinggal dari Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Ukiraina, Armenia, dan Uzbekistan.

Sedangkan dari segi daya saing, Indonesia juga masih jauh tertinggal dari Singapura. Berdasarkan data IMD World Competitiveness Ranking 2020, daya saing Indonesia turun 8 peringkat dari 32 menjadi 40 dalam daftar tersebut.

Adapun negara dengan peringkat daya saing tertinggi berdasarkan data tersebut ditempati Singapura, Denmark, Swis dan Belanda. Empat indikator penilaian daya saing tersebut, yakni berdasarkan kinerja ekonomi, efisiensi pemerintah, efisiensi bisnis dan infrastruktur.