Rata-rata harga tandan buah segar atau TBS sawit telah mencapai Rp 1.404 per kilogram (Kg) pada 23 Juli 2022. Namun, petani sawit menilai kenaikan harga tersebut tidak maksimum.
Secara rinci, harga TBS sawit dari kebun petani swadaya dilego Rp 1.300 per Kg pada 23 Juli 2022, sedangkan TBS sawit dari petani bermitra senilai Rp 1.509 per Kg. Artinya, harga terendah yang dinikmati petani sawit saat ini masih di bawah Rp 1.000 per Kg.
"Harga rata-rata TBS sawit hanya Rp 1.250-1300/ kg di pabrik kelapa sawit untuk petani swadaya, sedangkan petani bermitra Rp 1.500 - Rp 1.600 per Kg. Dari pedagang pengumpul harga hanya Rp 450 - Rp 600 per Kg," kata Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung kepada Katadata.co.id, Rabu (27/6).
Harga TBS sawit dari kebun petani swadaya terendah ada di Provinsi Sulawesi Barat senilai Rp 1.100 per kg dengan harga referensi Dinas Perkebunan Sulawesi Barat senilai Rp 1.250 per Kg. Sementara itu, harga TBS dari petani swadaya terendah adalah Rp 1.350 per Kg yang terjadi di tiga provinsi, yakni Banten, Sulawesi Tenggara, dan Gorontalo.
Gulat menghitung harga TBS sawit harusnya telah mencapai Rp 2.450 per Kg setelah pemerintah mencabut pungutan ekspor minyak sawit mentah atau CPO. Pencabutan pungutan ekspor ini melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 115-2022 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit pada Kementerian Keuangan.
Kenaikan harga TBS sawit harusnya terjadi karena harga CPO akan terungkit akibat PMK No. 115-2022. Gulat menilai harga CPO harusnya telah dijual Rp 12.000 setidaknya seminggu setelah PMK tersebut terbit atau pada 23 Juli 2022.
Namun, harga CPO berdasarkan tender oleh PT Kharisma Pemasaran Bersama Nusantara (KPBN) hanya Rp 8.750 - Rp 9.105 per Kg pada 25 Juli 2022. Sementara itu, harga CPO tertinggi pasca penerbitan PMK No. 115/2022 hanya mencapai Rp 9.250 per Kg.
"Seharusnya, sejak PMK No. 115-2022 terbit setidaknya harga CPO naik Rp 3.000 per Kg dan harga TBS naik paling tidak Rp 1.000 per Kg," kata Gulat.
Sebelumnya, Gulat telah menyampaikan anomali tersebut kepada Ketua Dewan Pembina Apkasindo sekaligus Kepala Staf Presiden Moeldoko. Pada kesempatan tersebut, Gulat menyarankan agar pemerintah bisa menghapus tiga kebijakan yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi terkini.
Kebijakan yang dimaksud adalah yakni Flush-Out (FO), kewajiban pasar domestik (DMO), dan kewajiban harga domestik (DPO). Ketiga aturan tersebut dinilai menghambat proses ekspor CPO saat ini.
Berdasarkan data Dewan Sawit Indonesia (DSI), total CPO yang dihasilkan sepanjang semester II-2022 diestimasikan mencapai 24,56 juta ton atau naik 15,49% dari realisasi paruh pertama 2022 sejumlah 21,27 juta ton. Produksi CPO terbanyak sepanjang 2022 dinilai akan terjadi pada November 2022 atau sebanyak 4,58 juta ton.
Produksi sawit Juli-Desember 2022 diperkirakan akan berkisar 4,49 juta ton per bulan. Adapun volume ekspor per bulan dan konsumsi domestik dengan aturan DMO hanya mencapai 3,74 juta ton per bulan.
Pada saat yang sama, fasilitas penyimpanan CPO pada awal Juli 2022 telah mendekati kapasitas maksimum atau sebesar 7,1 juta ton. Untuk menyelamatkan fasilitas penyimpanan, DSI mengusulkan Kementerian Perdagangan meniadakan aturan DMO hingga Oktober 2022.
"(Hal tersebut dapat dilakukan lantaran) harga CPO di pasar lokal masih berada di bawah Rp 9.500 yang dapat memberikan jaminan harga minyak goreng curah lokal bisa (dinikmati konsumen senilai) Rp 14.000 per liter," kata Plt Ketua DSI, Sahat Sinaga, kepada Katadata.co.id, Senin (18/7).