Indonesia sudah resmi ajukan banding dalam gugatan larangan ekspor nikel di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO. Namun demikian, gugatan tersebut tersebut masih menuggu antrian untuk diproses.
Menteri Perdagangan, Zulkifli Hasan, mengatakan bahwa Indonesia siap mengajukan banding ke WTO. Sebelumnya, Indonesia telah digugat Uni Eropa atas kebijakan larangan ekspor nikel. Pembelaaan Indonesia pun ditolak oleh WTO.
Zulkifli mengatakan, proses banding tersebut telah diajukan secara resmi ke WTO.
“Nggak apa-apa yaa, ya akan kita hadapi nanti kedepannya bakal seperti apa, sudah diajukan juga bandingnya” ujar Zulkifli saat ditemui di Kantor Menteri Perdagangan, pada Jumat (6/1).
Antre Panjang di WTO
Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional Kementerian Perdagangan, Djatmiko Bris Witjaksono, mengatakan bahwa Indonesia sudah mengajukan banding ke WTO. Namun dirinya belum bisa memberikan penjelasan terkait perkembangan informasi terbaru mengenai proses banding tersebut.
“Jadi Indonesia sudah mengajukan banding ya ke WTO, namun untuk prosesnya kita belum tau,” ujar Djatmiko saat ditemui di Kantor Kementerian Perdagangan, pada Jumat (6/1).
Djatmiko mengatakan, saat ini pengajuan banding tersebut masih dalam menunggu antrean untuk diproses WTO. Dirinya masih menunggu informasi lebih lanjut dari WTO.
“Kita belum tau ya perkembangan terbarunya, kan ngantri ya, Indonesia masuk ke antrian 20 lebih. Tergantung di WTO nanti. Jadi kalau ada yang nanya soal waktu, hanya tuhan yang tahu ya,” ujarnya.
Pembelaan Ditolak WTO
Seperti diketahui, WTO menolak pembelaan Indonesia terhadap gugatan nikel Uni Eropa. Berdasarkan dokumen WTO yang dikeluarkan 30 November 2022, panel menyimpulkan bahwa larangan ekspor bijih nikel Indonesia tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994.
Pasal XI:1 GATT 1994 menyatakan bahwa negara anggota WTO dilarang untuk melakukan pembatasan selain tarif, pajak dan bea lain, dan bukan pembatasan lain termasuk kuota dan perizinan impor atau penjualan dalam rangka ekspor.
Dalam penerapan Pasal XI:1 GATT 1994, WTO memberikan sejumlah pengecualian. Namun demikian, panel WTO menolak argumen bahwa kebijakan larangan ekspor nikel RI termasuk dalam pengecualian aturan tersebut.
Menurut panel WTO, pengecualian diberlakukan jika kebijakan ekspor bersifat sementara. Selain itu, syarat pengecualian berlaku jika larangan ekspor bertujuan untuk mencegah atau meringankan krisis pangan, atau produk lain yang esensial bagi Indonesia seperti dalam pengertian Pasal XI:2(a) GATT 1994.
"Larangan ekspor tidak sesuai dengan Pasal XI:1 GATT 1994. Panel juga menyimpulkan bahwa larangan ekspor tidak dibenarkan berdasarkan Pasal XX(d) GATT 1994 karena tidak diperlukan untuk memastikan kepatuhan terhadap undang-undang atau peraturan yang tidak bertentangan dengan GATT 1994," tulis keterangan WTO, dikutip Selasa (20/12).
Panel WTO merekomendasikan agar Indonesia mengambil langkah-langkahnya sesuai dengan kewajibannya berdasarkan GATT 1994. Artinya, Indonesia diminta membatalkan larangan ekspor bijih nikel tersebut.
Ekspor Nikel Melonjak
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik atau BPS, volume dan nilai ekspor nikel Indonesia memang terus meningkat sejak 2021. Sepanjang periode Januari-September 2022 volume ekspor nikel nasional mencapai 534,05 ribu ton. Angka tersebut melonjak 458,39% dibanding periode yang sama tahun lalu.
Demikian pula nilai ekspor nikel Januari-September 2022 sudah mencapai US$4,12 miliar atau setara Rp62,83 triliun (kurs Rp15.232 per dolar Amerika Serikat). Nilai ini melonjak lebih dari 5 kali lipat dibanding Januari-September 2021, serta lebih tinggi 3,24 kali lipat dibanding nilai ekspor sepanjang tahun lalu.
Hal ini mengindikasikan bahwa hilirisasi selama pelarangan ekspor bijih nikel memang memberi hasil signifikan bagi perekonomian Indonesia.