Grup Wilmar Indonesia membantah dugaan kartel minyak goreng yang menyeret perusahaan. Kuasa hukum perusahaan menyebut tidak ada fakta dan bukti yang dapat diberikan selama persidangan.
Adapun, Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU menduga 27 perusahaan melakukan pelanggaran Pasal 5 dan Pasal 19 huruf c Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau UU Antimonopoli.
Kuasa Hukum Grup Wilmar Rikrik Rizkiyana mengatakan krisis minyak goreng yang terjadi di Indonesia sebab kenaikan harga crude palm oil (CPO) dunia. Selain itu menurutnya, kebijakan pemerintah mengintervensi pasar tanpa ada infrastruktur atau lembaga khusus yang menangani menjadi faktor krisis minyak goreng.
"Para terlapor dituduh melanggar dua hal, yaitu membuat kesepakatan penetapan harga minyak goreng kemasan pada periode Oktober-Desember 2021 dan periode Maret-Mei 2022, dan membatasi peredaran atau penjualan minyak goreng kemasan pada periode Januari-Mei 2022," katanya dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (15/1).
Namun, Rikrik mengatakan tuduhan yang dilayangkan kepada terlapor tidak terbukti saat selama berjalannya persidangan. Dia kembali menjelaskan mengenai persentase harga CPO mencapai 80-85% dari biaya produksi.
Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan sejak Januari 2022 menerbitkan belasan peraturan dalam waktu singkat. Seperti penetapan harga eceran tertinggi (ET) minyak goreng kemasan, peraturan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) untuk CPO atau RBD Olein bagi pelaku usaha yang ingin mengekspor.
"Dengan demikian, hukum persaingan sudah tidak lagi relevan karena persaingan yang terjadi diatur oleh pemerintah melalui instrumen kebijakan persaingan,” kata Rikrik.
Dia menilai kebijakan pemerintah tersebut tidak dapat menyelesaikan permasalahan kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng. Selain itu Rikrik mengatakan KPPU mengabaikan peran kebijakan pemerintah yang justru menjadi sumber masalah.
"Berdasarkan keterangan para saksi di persidangan, kelangkaan ini sebenarnya terjadi hanya untuk minyak goreng kemasan merek-merek premium di ritel-ritel modern. Sementara minyak goreng curah banyak tersedia di pasar," kata Rikrik.
Dia mengatakan harga minyak goreng kemasan menjadi sama dengan harga minyak curah karena peraturan pemerintah. Sehingga masyarakat lebih memilih untuk membeli harga minyakk goreng kemasan.
Kuasa Hukum Grup Wilmar, Farid Nasution, mengatakan dugaan kartel penetapan harga tidak mungkin dilakukan. Sebab KPPU menduga penetapan harga dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda.
Dia menjelaskan bahwa kartel merupakan tindakan bersama antara pelaku usaha tertentu untuk menyepakati keputusan strategis mereka di pasar, misalnya harga, produksi, dan penjualan. Selain itu, Investigator KPPU juga tidak dapat membuktikan bahwa pembatasan peredaran minyak goreng dilakukan oleh produsen.
Dia menilai produsen minyak goreng tidak punya kendali atas rantai distribusi minyak goreng yang begitu panjang, mulai dari produsen, distributor, sub distributor, agen, pedagang grosir, supermarket atau swalayan, pedagang eceran, sampai dengan konsumen akhir.
“Berdasarkan keterangan saksi-saksi di persidangan, kenaikan harga dan kelangkaan minyak goreng bukan karena masalah produksi, tetapi karena kenaikan harga CPO, penerapan HET dan kendala distribusi. Tidak ada saksi yang mengatakan kelangkaan karena produsen menahan pasokan,” katanya.